PERANG SUDAH BERAKHIR

DENI WIJAYA
Chapter #1

ZONA MERAH #1

Entah kenapa Pratiwi belum berkeinginan meninggalkan kampus. Pandangannya masih tertuju pada papan dengan tanda panah yang tertulis “Fakultas Kedokteran” dan membiarkan kakinya melangkah melewati panah itu. Sejenak Pratiwi menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Sejenak kemudian, dia berbalik dan melangkah.

Decit suara sepatu yang memantul dan berkolaborasi dengan suara serak kerikil di atas jalan aspal mulai memecah keheningan, membuat matahari penasaran, lalu mengintip di sela rindang pepohonan yang berjajar di sepanjang jalan kampus yang dia lewati. Semakin terasa sepi ketika Pratiwi menyadari saat beberapa mahasiswa kedokteran sudah mulai tak terlihat, hanya beberapa orang yang masih bertahan di balik kesunyian Jum’at sore.

Masih tampak bayangan dirinya pergi bersama sang waktu. Sepi. Pratiwi baru menyadari bahwa hari semakin senja, sambil melihat jam yang melingkar di tangannya. Hingga nada SMS di ponselnya berbunyi membuyarkan lamunannya. Pratiwi tertunduk membaca SMS itu, seiring langkahnya yang terhenti dalam kesunyian, membuat jantungnya berdetak semakin kencang tak beraturan.

Beberapa saat dia terdiam dalam lamunan, namun kembali berjalan melewati beberapa gedung hingga tiba di sebuah taman yang di atasnya berdiri jajaran huruf yang jika dibaca akan terlihat kata Universitas Indonesia. Jajaran huruf-huruf itu dibuat dari plat logam kilap dengan polesan berwarna perak dengan media tulisan terbuat dari semen. Untuk sesaat Pratiwi mencoba menikmati pesona kampus, menahan untuk tidak melirik jam tangan berwarna merah muda yang melingkar di pergelangan tangan kiriya.

Kembali Pratiwi menghela nafas panjang, namun alunannya tetap tidak mampu menenangkan denyut nadinya yang tak beraturan. Pratiwi menutup matanya. Entah kenapa keraguan menyelimuti dirinya. Bahkan tanpa disadari dia sering merasa gelisah menjelang keberangkatannya ke Papua.

“Aku nggak boleh larut dalam keraguan. Tuhan, berikanlah hambamu ini keteguhan hati… ” ucapnya dalam hati.

Dia biarkan udara sore mengibas rambut ikal sebahunya, saat hembusannya terdengar di balik keheningan. Namun hanya beberapa detik setelah itu, keheningan kembali terpecahkan. Kali ini bukan oleh dentingan suara sepatu milik Pratiwi, tapi dentingan sepatu lain yang terdengar memantul lebih cepat, kemudian disusul dengan suara lainnya.

“Pratiwi!” panggil Agnes.

Dari tadi kucari-cari e… ternyata bengong di sini. Wi, ngapain lihatin gedung kuliah kedokteran sampai kayak gitu... emangnya ada yang menarik ya.. menurutku biasa aja... dari dulu nggak berubah!“ celoteh Agnes. Namun sepertinya Pratiwi tidak terpengaruh dengan ucapan Agnes, dia masih menikmati keterpakuannya.

Sinar matahari senja kini menutupi hampir sebagian gedung perkuliahan di kampus Salemba. Sambil melihat jarum jam yang melingkar di tangan kirinya, Pratiwi kembali menyadari bahwa hari sudah merangkak senja. Terlihat langit di atas kampus mulai memerah, menghapus jejak kuning yang semula begitu terang.

Selapis awan tipis yang awalnya tampak menyala kuning garang mulai menghitam. Semburat merah kekuningan tampak menghiasi cakrawala. Nuansa lukisan sang pencipta di kaki langit. Cuaca cerah membuat sang surya terlihat indah ketika akan melangkah kembali ke singgasananya.

Senja yang riuh dengan bunyi burung-burung yang pulang ke sarang. Merangkai jalinan cerita senja yang merindu. Ya, senja selalu punya cara merekam setiap jejak manusia dan pergumulannya, menyimpannya dan untuk kemudian menyampaikannya kembali di lain waktu sebagai kenangan yang tidak pernah terlupakan. Adakalanya senja memberikan derai tawa, bahkan air mata.

“Wi, sudah sore, ayo pulang, semua dosen dan mahasiswa sudah pulang, apa kamu tetap akan berada di sini?!” tegur Agnes.

Hallo… Apa hari ini kamu baik-baik saja?” lanjut Agnes dongkol.

Memang di mata Agnes, sahabatnya itu adalah sosok perempuan yang sangat sulit ditebak, bukannya jawaban yang dia dapat tapi hanya senyum kecil yang mengembang di bibirnya.

Agnes semakin bingung dengan semua tingkahnya, sangat aneh baginya karena memang dia sosok yang pendiam, tak banyak kata yang dia lontarkan untuknya.

“Di sini sangat tenang, aku menyukainya... ” ucap Pratiwi lirih menceracau sendiri.

“Nes, hari ini sama seperti hari-hariku sebelumnya, tak ada yang istimewa ataupun terkesan sepi dan kamu tahu bukankah hariku selalu berakhir disini bersama senja, berakhir dengan kenangan-kenangan yang hanya bisa menemaniku sesaat saja.. Dan mungkin hanya aku dan Tuhan yang tahu... ” ucap Pratiwi kepada Agnes, sembari menoleh dan tersenyum kepada Agnes.

“Mengapa kamu berkata seperti itu?” sahut Agnes lembut tapi terkesan sangat dingin.

“Wi, kamu harus yakin akan keputusanmu. Jika kamu merasa pilihanmu adalah yang terbaik bagimu, maka maju terus jangan mundur selangkah pun… Wi, setiap pilihan pastilah mempunyai resiko,” kata Agnes seraya menatap Pratiwi penuh makna.

“Nes, aku hanya ingin merasakan kebahagiaan dalam hidupku dengan berbagi pada sesama tapi kenapa mereka masih saja tidak setuju pada pilihanku… ” ucap Pratiwi.

Lihat selengkapnya