Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di Oksibil. Melewati perkampungan yang dipagari dengan tumpukan batu atau pagar dari kayu yang disusun melingkar. Memasuki gerbang dengan anak tangga setinggi kurang lebih satu meter dengan atap ilalang menyerupai sebuah honai.
Pagar yang berfungsi sebagai daerah teritorial dan mencegah babi keluar. Bertegur sapa dengan mama-mama yang menggendong anak di pundak dan noken yang terkait di dahi. Sedangkan kaum lelaki yang berusia lanjut masih mengenakan koteka, dan kaum mudanya berpakaian ala kadarnya. Inilah pesona asli Papua.
Nampak dua orang anak dengan bertelanjang kaki, riang bermain dan berlarian kesana kemari, bahkan tak canggung ketika Pratiwi membidikkan kameranya seolah mereka pun ingin mengabadikan ekspresi kegembiraan mereka.
Babi-babi nampak berkeliaran kesana kemari tanpa rasa terancam oleh para pemburu. Sungguh sebuah keriangan yang jarang sekali Pratiwi temukan terutama di Jakarta. Rumah anak-anak ini jauh di balik bukit sana, namun mereka tanpa rasa takut bebas bermain kemana saja. Masa-masa yang menyenangkan, karena hanya itu yang bisa mereka lakukan.
Anak-anak kecil yang bermain di lapangan sepertinya begitu antusias melihat kedatangan Pratiwi dan Burhan. Mereka tidak canggung, malu ataupun takut.
Pratiwi menyapa seraya tangannya melambai memberikan isyarat agar mereka menghampirinya, ”Adik, adik selamat siang. Kemari sayang, ini ada oleh-oleh buat kalian.”
Dengan segera Pratiwi membongkar tas Deuter untuk memberikan delapan batang coklat untuk diberikan kepada mereka. Dan dengan riang mereka ramai-ramai berebutan coklat.
“Terimakasih… kakak!” kata mereka hampir bersamaan.
Pertanyaan singkat mereka lontarkan, “Kakak dari mana, siapa nama kakak, kakak yang akan jadi bapak ibu guru kami kah..?”
Pertanyaan itu membuat Pratiwi dan Burhan trenyuh dan terharu.
Mungkin seperti halnya dokter PTT, guru honorer yang mengajar di pedalaman, bukan perkara mudah untuk mendidik dan membina anak-anak dengan latar belakang budaya yang masih tertinggal, akan tetap dengan semangat dan kegigihan niat maka tidak mustahil jika suatu hari kelak akan muncul generasi baru anak Papua yang mampu membawa perubahan menuju Papua yang lebih baik.