Bukan main terlukanya hati Subari mendapati kenyataan anak perawannya tak kunjung kembali. Hari demi hari ia habiskan untuk menunggu dan mencari keberadaan Marhara hingga ke pelosok kota, desa bahkan gubuk-gubuk di ladang orang, siapa tahu Marhara dan pemuda bernama Togi itu bersembunyi di sana. Dua kakak kandung Marhara―Farida dan Sarifah―adalah wanita yang sudah berumah tangga dan memiliki anak, Subari tak bisa mengerahkan tenaga kedua anaknya itu untuk turut mencari. Para tetangga, sanak saudara, dan warga di bawah kepemimpinannya sebagai kepala lingkungan juga sudah membantunya mencari informasi. Laporan orang hilang yang Subari dengungkan ke kepolisian juga belum menemukan titik terang. Alih-alih berpencar dan menyelidiki, aparat berseragam lengkap itu kerap kedapatan Subari sedang berleha-leha di kantor polisi, tertawa menggelak membahas hal yang terdengar tak penting tapi barangkali lucu di telinga yang lain. Subari acap kali bertanya mengenai perkembangan kabar keberadaan Marhara, sayangnya tak ada yang ia dapati selain jawaban tak jelas atau omongan bahwa para polisi itu sedang berusaha mengumpulkan informasi, tetapi dengan mata yang tak melihat wajah kekhawatiran Subari sama sekali. Proses yang seakan diulur-uluri itu tak memuaskan. Setiap hari, Subari akan pulang dengan kekecewaan yang tak sudah-sudah dan kembali merenung di dalam kamar anak perempuannya.
Aroma kamar Marhara masih sama seperti yang gadis itu tinggalkan dua minggu yang lalu. Manis dan lekat dengan bau seumpama daun sirih yang terkena embun. Kasur yang kini Subari duduki masih mengeluarkan bau matahari sebab siang sebelum hari menghilangnya Marhara, gadis itu menjemurnya di halaman depan rumah. Memukul-mukul tilam dengan pukulan yang terbuat dari rotan. Tak tampak kegilaan bertengger di jiwa Marhara kala itu. Subari ingat betul bagaimana raut wajah menahan udara berdebu yang mengelilingi tubuhnya saat tilam digebuk-gebuk. Kemudian sembari menggulung tilam untuk dikembalikan ke kamar, Marhara meminta tolong pada Subari untuk membawa masuk dua kursi. Dengan kedua tangan Subari sendiri kursi makan yang digunakan untuk tempat bertenggernya tilam itu diangkat. Matahari jam tiga sore begitu hangat dan keringat di kening Marhara berkilauan. Gadis itu menggumamkan lagu cinta ciptaan Roma Irama saat berjalan masuk. Suaranya merdu, jernih dan enak didengar. Tentu saja, selain bekerja sebagai staf di sebuah penginapan, Marhara mengambil pekerjaan sampingan dengan menjadi biduan di acara-acara hajatan. Suaranya yang merdu dan mendayu itu sangat disukai orang-orang di kota. Tak heran jika nama Marhara cukup terkenal di kalangan pengusaha kibot dan juga para pejabat yang haus hiburan.
Ratnawati yang kala itu baru pulang dari pasar dengan membawa dua kantung plastik belanjaan bahan dapur, kebutuhan kamar mandi, dan sebungkus kue bika ambon dari toko roti langganan pun dibuat senang karena nyanyian itu. Marhara masih saja bernyanyi selagi memasang sprei dan sarung bantal guling bercorak bunga melati. Jika suaranya tak lagi terdengar, itu bertanda Marhara sudah begitu mengantuk. Tak ada yang mampu menandingi kenyamanan dari tilam yang masih hangat dan sprei yang harum. Ratnawati ingin memberitahu anaknya bahwa bika ambon tak harus dibuat menunggu sampai Marhara terbangun karena ia paling tahu kalau gadis itu tidak suka jika kue favoritnya dingin. Lantas kesibukan sepasang suami istri itu memberi makan ternak ayam dan entok ternyata memalingkan perhatian. Mereka kecolongan, tanpa tahu ternyata Marhara keluar lewat pintu depan, pergi tanpa pamit dan malah disemburkan kabar buruk mengenai kegilaan mendadak Marhara.
Marhara merupakan sosok gadis dua puluh tahun yang dikenal sangat ramah dan banyak bicara. Sehari-hari Marhara bekerja sebagai pelayan di sebuah hotel kalangan menengah ke atas. Melati Sukma adalah nama hotel tersebut, letaknya hanya berjarak lima ratus meter dari tempat tinggalnya. Setiap pagi, dengan dandanan cantik rok pendek, kemeja putih dengan rompi merah bercorak ulos dan dihias mungil oleh dasi kupu-kupu kerah bajunya, Marhara akan mendayung sepeda mininya sampai ke hotel. Subari sering menawarkan diri untuk mengantar gadis itu berangkat menggunakan sepeda motor, tapi dengan kemandirian yang sudah sangat matang itu, Marhara tak ingin kelihatan bak anak manja di mata teman-temannya. Meski terkadang Marhara luluh juga di waktu-waktu genting saat ia terlambat.
Subari masih duduk di tepi ranjang Marhara. Wajahnya sendu menatap langit kelabu dari jendela sisir yang terbuka lebar. Kamar itu berada di lantai dua, lantai papan di bawah kaki Subari menimbulkan suara sedikit berderak ketika ia berdiri, melangkah menuju meja belajar tempat dulu Marhara menghabiskan dua jam mengerjakan PR sekolah setiap malam. Sebuah pigura mini berwarna merah muda berdiri, wajah Marhara terlihat sangat cantik dengan pose wajah yang sangat dekat, menampakkan bagian ujung kepala hingga perut. Satu tangannya menopang dagu dan senyum yang sangat memesona itu tak dapat menandingi anak gadis siapa pun di lingkungan tempat tinggalnya.
Foto itu diambil saat Marhara masih berusia tujuh belas tahun, kemeja putih yang dikenakan menandakan bahwa anak itu sengaja difoto saat pulang sekolah. Rambut hitam legam dan lurus bagaikan selendang pekat yang ditenggerkan di kepala, mata binarnya terpancar mulia. Hidung mancung itu sangat jelas diwariskan dari Subari, dan kulit seputih buah pir yang baru dikupas adalah keindahan luar biasa yang diturunkan sang ibu. Siapa pun yang tak pernah mengenal Marhara, tak akan tahu seperti apa gadis itu jika bicara. Ia terkenal sebagai pengkritik tajam, pemerhati situasi dan penyerang ulung dalam urusan berorganisasi. Subari sudah menentukan dan sangat yakin, kelak Marhara akan menjadi penerus dirinya sebagai Kepala di lingkungan Nangadok, daerah kekuasaannya selama tiga puluh tahun terakhir. Subari bahkan pernah berpikir, dengan kemampuan Marhara yang sangat piawai dalam urusan berorganisasi, mengarahkan masyarakat dan ditambah dengan namanya yang sudah dikenal banyak orang, gadis itu bisa saja menjadi Camat, Bupati, bahkan Gubernur di usia muda.