Sore hari, menjelang magrib, burung-burung berterbangan dari Barat untuk kembali ke Timur. Gerombolan yang seakan menodai langit. Burung walet terbang ke sana kemari, mengitari kepala Marhara yang dengan seronoknya duduk di tepi gedung bertingkat tiga tempat walet – walet itu dipelihara. Kicau kawanan walet terdengar sungguhan, tidak seperti suara tiruan yang selama ini berasal dari tape yang diputar berulang-ulang. Kaki Marhara menjuntai ke bawah, ia melihat orang-orang berkerumun di bawah kakinya. Menunjuk-nunjuk dan beberapa orang berteriak.
Pasalnya, Marhara duduk di tepi atas gedung dalam keadaan telanjang. Buah dadanya yang masih kokoh khas anak perawan bagai teropong yang mengundang perhatian. Paling tidak, bagian kemaluaanya terapit oleh pahanya sendiri. Rambut hitam legam sepunggungnya berkibar diterpa angin sore. Ia melihat ke bawah, wanita muda hingga tua menyerapahnya dengan kata-kata pedas bahkan mencaci karena tindakan kurang ajarnya itu. Akibatnya para lelaki yang merupakan suami atau kekasih mereka bermuka gila karena mendapat tontonan gratis. Kulit Marhara kuning langsat, tampak berkilauan meski sisa sinar matahari yang menyorot tepat di hadapannya itu menyiram silau.
Sumpah serapah para wanita yang marah tak dapat Marhara dengar sebab itulah alasan ia duduk di atas, hanya agar telinganya tak mendengar dan meskipun ia mendengar, Marhara tak akan peduli dengan omongan mereka.
"Perempuan gila! Marhara tiba-tiba menjadi gila!" pekik salah seorang bapak yang lebih memilih melotot pada Marhara ketimbang mengurusi dagangan ikan asinnya yang sudah dikunyahi kucing.
"Gadis paling cantik sekecamatan itu sudah tak waras."
"Marhara, turunlah atau bunuh diri sekarang karena kau sudah membuat laki-laki kami ngences."
Seruan perempuan yang sedang menggendong bayi tak berarti apa-apa bagi Marhara. Ia tetap memandangi mereka, orang-orang berdatangan semakin banyak, jumlahnya tak terhitung seperti kerumunan orang yang menonton layar tancap. Bagi laki-laki yang lehernya kuat, mereka bakal tahan mendongak ke atas selama berjam-jam. Namun bagi laki-laki tua yang punya penyakit darah tinggi atau rematik apalagi baru sembuh dari stroke, berharap saja mereka tidak mati di tempat dalam keadaan muka tercengang dan mata melotot.
Salah seorang gadis yang merupakan teman Marhara segera berlari ke rumah Marhara yang berjarak tiga ratus meter. Tersengal-sengal memanggil orang tua si gadis bugil agar segera pergi melihat malapetaka itu. Subari Nasution dan Ratnawati terkejut setengah mati dan mulanya menganggap si penyampai berita itu hanya membual. Bagaimana mungkin putri bungsunya yang paling penurut, berpendidikan dan paling dibanggakan itu berperilaku bagai orang tak waras? Demi Tuhan, Marhara masih berada di dalam kamarnya dua jam yang lalu, tidur sore dan tak ada tanda-tanda anaknya itu terkena penyakit spontan gila.
"Kemungkinannya ada dua, *Nantulang. Marhara memang mau bunuh diri atau dia cuma duduk telanjang karena gila."
Subari—sang ayah—tergesa mengencangkan sarungnya dan mengenakan kaus oblong untuk mengikuti ke mana si penyampai berita itu pergi. Ratnawati mencincing dasternya, sandal terbalik sudah tak lagi ia pedulikan meskipun kakinya tersaruk batu karena tak nyaman. Tak ada waktu memperbaiki sandal. Suaminya tak lihai berlari karena penyakit asam urat di kaki sedang kambuh-kambuhnya tadi siang.
"Di sana!" kata si penyampai itu sambil menunjuk ke atas sebuah bangunan tingkat empat.
Subari dan Ratnawati mendongak serentak dan hampir terkena serangan jantung melihat anak perempuannya bertubuh polos tanpa punya rasa bersalah. Bagian dinding gedung itu sengaja dilubang-lubangi untuk tempat walet keluar masuk. Rumput atau benalu tumbuh di sebagian permukaan dinding yang meretak. Pada posisi tegak lurus ke atas, kaki Marhara yang menjuntai bergoyang-goyang seperti orang yang menikmati udara sore di pinggir pantai bersama ketenangan yang sulit diartikan. Marhara bahkan tak mengindahkan teriakan ayahnya sendiri.
Bagaimana caranya Marhara naik ke atas sementara gadis itu tak pernah masuk apalagi mendatangi gedung tua tersebut. Para warga yang berkerumun mendesak Subari untuk segera naik dan membujuk Marhara agar turun, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang tahu bagaimana cara naik ke atas sana. Si pemilik rumah walet tak pernah ada di tempat dan penjaga gedung itu pastilah sudah pulang sebab jam kerja sudah habis. Pintu masuk terkunci. Satu-satunya cara untuk bisa mencapai atas pastilah melalui tangga di dalam.
Seorang pria tua yang berprofesi sebagai penebang pohon pinang meminjamkan kapaknya pada Subari walau pada akhirnya pria itu sendiri yang membacok pintu lalu menendangnya sampai terbuka. Subari memasuki ruangan gelap itu. Seumur-umur sejak gedung itu berdiri sepuluh tahun di sana, Subari tak pernah tahu seperti apa isi rumah yang selalu bising dengan suara-suara tiruan walet. Setiap lantai, bagian langit-langit melintang kasau-kasau kayu yang disejajarkan rapi tempat sarang keputih-putihan dikumpulkan para walet. Baunya aneh, tapi Subari tak sempat mengumpat. Sementara ia naik ke atas, orang-orang di luar semakin gaduh. Ratnawati menangis sejadi-jadinya, punggungnya dielus oleh ibu-ibu di sekelilingnya untuk menenangkan. Siapa pun tak akan menyangka jika seorang gadis baik-baik seperti Marhara bertingkah seperti itu. Pekikan mereka kembali serempak ketika Marhara berdiri, masih di tepi atas gedung. Rambutnya melambai-lambai menutupi kedua matanya yang seolah tak berhasrat sama sekali.