Mbak, kapan nikah?
Itu lho, Nduk, Si Narti udah punya anak dua. Si Pipit malah udah tiga.
Nikah, dong, Mbak! Bukannya terus keganjenan sama suami orang!
Emang enak, ya, jadi perawan tua?
Dasar perempuan murahan! Nggak punya harga diri banget, sih!
Tika menggeleng kuat, mencoba mengenyahkan bayangan-bayangan yang berkelindan di benaknya. Ia tatap bunga beragam warna yang bermekaran di halaman rumah, wanginya yang lembut membuat gadis bertubuh mungil itu mengirup napas dalam. Semilir angin berembus pelan dari pohon-pohon karet di samping kanan-kiri rumah. Tika memeluk tubuh. Dingin. Langit Mesuji berangsur terang. Sayup terdengar suara ayam yang berkeok berebut makanan. Tika menarik napas dalam. Berharap dengan begitu, beban yang membuatnya begitu tertekan segera lenyap.
Ia menghela napas dengan mata sedikit terpejam saat terngiang ucapan Tuti. Wanita yang semula ramah dengannya itu datang melabrak kemarin sore, mengatainya perempuan gampangan. Kalau tak salah menghitung, dalam seminggu ini, sudah 8 orang yang melabraknya dengan tatapan sinis memancarkan aura permusuhan.
Sungguh. Ia bukan perempuan murahan seperti yang digemborkan banyak orang. Bukan. Ia hanya perempuan biasa yang sedang berusaha menemukan jodohnya. Maka, ia mencoba menemukannya dengan menebar senyum pada banyak lelaki.
Kata ayahnya, kalau diibaratkan kayu, ia sudah amat lapuk. Maka, gadis itu mencoba mencari jodohnya dengan bersikap ramah pada banyak lelaki. Ia bukan tipe perempuan lembek yang mudah patah arang. Tika terus berusaha menemukan jodohnya. Bukankah jodoh tak mungkin datang sendiri tanpa dicari? Seperti rezeki. Kalau tak kerja, tentu uang takkan datang sendiri.
Tidak banyak di desa yang mengenalnya. Maka, perempuan itu sering jalan pagi menyusuri gang, rutin ke pasar, agar orang-orang tahu keberadaannya. Tika sama sekali tak menyangka, akan ada beberapa lelaki tak tahu diri bertandang ke rumahnya. Mereka menawarkan cinta padahal sudah punya anak istri.
Tika tersenyum kecil, mencoba bersikap riang tak peduli hatinya perih saat tiba-tiba terkenang kisah lalu. Tujuh tahun lalu, ia masih merebah di paha ibunya. Menikmati belaian tangan ibu di rambutnya. Saat itu, ibu berkata penuh harap padanya.
“Sudah dua puluh lima umurmu, Nduk. Semoga ibu masih hidup saat kamu menikah, Nduk.”
Sayang, Tika tak bisa kabulkan keinginan ibunya. Dulu, ia gadis yang terlalu pilih-pilih. Tidak mau asal menikah. Bukan hanya lelaki mapan yang ia harap jadi pendamping hidup. Akan tetapi, lelaki itu juga haruslah tak menerbitkan rasa malu saat menemani ke pasar atau kondangan. Pasangan yang ia harap menjadi suami haruslah mapan, tampan, juga perhatian. Kaya saja, Tika tak sudi jika tak berwajah rupawan.
Meskipun berpostur mungil, namun Tika montok proporsional. Dengan wajah baby face yang selalu menggemaskan, membuat kagum siapa saja yang memandang. Mana bisa gadis rupawan menikah dengan lelaki berparas tak elok? Pikir Tika kala itu.
Sementara menikah dengan lelaki tampan namun tak berharta, Tika juga tak sudi. Jaman sekarang, amat beda dengan kehidupan prasejarah yang walaupun tak punya uang, namun masih bisa makan mengandalkan alam. Sekarang, jaman moderen. Apa-apa didapat menggunakan uang.
Namun, itu prinsipnya tujuh tahun lalu. Sebelum sang ibu terlelap damai menghadap-Nya karena kanker ganas. Dulu, ia belum begitu ingin menikah. Namun sekarang, mau tak mau harus memikirkan pernikahan, membina masa depan dengan siapa pun yang mau. Iya, siapapun yang mau. Tampan, kalau bisa. Kaya, kalau bisa. Akan tetapi jika tak kaya pun tak mapan, tak jadi soal. Asal, sayang. Ia sudah berlimpah materi tak seperti tujuh tahun lalu. Jadi, lelaki bergelimang harta bukan lagi menjadi prioritas utama. Wajah tampan, juga tak lagi menjadi obsesi terbesar. Yang penting, dia sayang. Sesederhana itu.
Tiga puluh dua tahun sekarang umurnya. Jika keinginannya terlalu tinggi dan muluk-muluk, bisa-bisa tak laku. Hal itu, akan membuat wajah ayahnya terus suram. Tika tak ingin, ayahnya terus-menerus sedih karena memikirkannya yang tak kunjung kawin. Sejak ia pulang ke Indonesia, sering dilihatnya sang ayah mengusap mata. Orang-orang yang semula ramah padanya pun berubah sinis. Pasti, takut suaminya ia jarah.
Tika maklum, kenapa baru satu bulan ia kembali ke kampung halaman, orang-orang yang sinis padanya semakin banyak. Obsesinya ingin segera mendapat jodoh, membuatnya tanpa ragu membuka hati pada siapa pun lelaki yang mendekat. Tika belum lama tahu, jika sebagian lelaki yang sering apel sehabis isya, ternyata sudah punya anak istri. Ia sudah coba jelaskan pada sebagian tetangganya, tapi tak ada yang percaya. Ya sudahlah.
Tepukan ringan di bahu, membuat gadis berparas elok itu terlonjak. Lelaki bertubuh gempal di hadapannya, menatapnya dengan wajah antusias.
“Nduk, masih ingat Sumantri?”
Tika langsung mengangguk. Sumantri adalah kakak kelasnya saat duduk di kelas dasar dulu. Rumah lelaki itu hanya terletak dua rumah dari rumah lamanya. Lulus SMA, teman mainnya itu merantau ke luar kota. Pulang-pulang bawa istri.
“Ibunya bilang, Sumantri sekarang duda dua anak. Istrinya meninggal karena kecelakaan. Sumantri mau pulang dua hari lagi.”
Gadis itu tersenyum tipis. Ia mengerti ke mana ucapan ayahnya bermuara. Ia memang ingin menikah. Tetapi kalau bisa, jangan duda anak dua. Tanpa anak saja. Atau paling tidak, satu anak saja.
Tika menghela napas panjang. Ia tatap wajah sang ayah yang terus menatapnya penuh harap. Gadis itu sangat yakin, kelak, akan menemukan jodohnya. Bukankah jika mau berusaha, Dia akan mengubah nasib hambanya? Tika yakin, sebelum ruh keluar dari zus manusia, akan selalu ada kesempatan untuk mewujudkan segala keinginan. Asal, sabar. Kuncinya memang harus sabar. Sabar yang diiringi dengan usaha, bukannya hanya diam menunggu jodoh di rumah saja.
Tika masih belum lupa tentang kehidupannya yang memprihatinkan. Namun karena kegigihannya yang ingin segera mengubah nasib, kini ia hidup berlimpah materi. Ia nekat ke luar negeri tak lama setelah ibunya meninggal, coba peruntungan dengan bekerja jadi babu. Tika selalu tak tega melihat ayahnya banting tulang dan kelelahan. Selalu ikut mburuh setiap ada peluang. Entah itu memetik jagung, menuai padi, menjadi kuli bangunan, apa saja akan ayahnya kerjakan asal mendatangkan pundi-pundi rupiah.
“Bagaimana, Nduk? Apa kamu ingin bapak bilang pada Suman—“