Tika membuka mata saat harum rempah-rempah yang bercampur sengit cabai menusuk indera penciumannya, membuatnya bersin berkali-kali. Ia rentangkan tangan sambil menggeliatkan tubuh, lantas beranjak bangun. Sambil terbatuk-batuk, gadis itu menuju dapur di mana sang ayah tengah memasukkan nasi ke dalam rantang putih bermotif bunga mawar merah. Tika menatap penggorengan di mana sengit pedas berasal. Potongan ikan yang dimasak dengan santal kental dan irisan cabai merah terlihat begitu menggoda di matanya yang masih begitu mengantuk.
“Ini. Bawa ke rumah lama.”
“Bapak nggak makan ini, kan?” tanyanya dengan tatapan menyelidik. Lelaki di sampingnya langsung menggeleng.
“Awas aja kalau sampai makan makanan bersantan. Ingat kesehatan, Pak,” katanya dengan tatapan memperingatkan. Ia masukkan gulai ikan ke rantang, lalu ikan asin yang digoreng kering.
“Sana mandi dulu. Sayur beningnya hampir matang.” Perintah lelaki itu yang langsung membuat Tika membalikkan badan menuju kamar mandi.
Tak lama kemudian, gadis itu keluar kamar mengenakan dres hijau semata kaki dipadu jilbab mini kuning lembut. Wajahnya yang terlihat segar habis mandi ia poles dengan bedak tipis. Diraihnya rantang susun yang telah disiapkan ayahnya di ruang tamu, lalu membawanya menuju motor di halaman rumah. Udara pagi yang dingin langsung menyongsong Tika yang mengemudikan motor dengan kecepatan sedang. Sesekali, ia tersenyum saat berpapasan dengan tetangganya yang menatapnya sinis. Tika tak mengambil hati sikap para tetangganya. Alih-alih tersinggung, ia memilih bersenandung kecil, mendendang lagu jawa kesukaannya. Dengan bersenandung, selalu bisa membuatnya melupakan masa lalu yang hingga detik ini masih lekat dalam ingatan.
Langit yang semula kuning keemasan berangsur terang saat gadis itu mengetuk pintu di hadapannya, menerka-nerka apa lelaki yang semalam dibawa orang kepercayaan ayahnya kesini sudah bangun atau belum. Karena tak ada sahutan, akhirnya ia buka pintu dengan kunci di tangannya, lalu berjalan menuju kamar dengan dada bergemuruh.
Berbeda dengan rumah barunya yang megah, kondisi rumah ini begitu memprihatinkan. Dinding-dindingnya yang terbuat dari bilah-bilah papan yang disatukan mulai lapuk. Lantainya hanya tanah tak rata. Mendongak ke atas, Tika bisa melihat amat jelas lubang di sana-sini yang memperlihatkan dedaunan kecil. Saat hujan, lantai rumah ini akan becek sekali. Tika menimbang-nimbang sebaiknya ia mengganti atap rumah dengan asbes yang baru atau tidak. Rumah ini tak lagi ditempati sejak satu tahun lalu. Dari hasil perbuatan nekatnya, ia akhirnya membeli rumah mewah untuk sang ayah. Juga membeli beberapa hektar kebun. Teringat kejadian yang kini membuat dadanya berdenyar sakit, Tika menggigit bibir.
Tika meletakkan rantang yang sejak tadi dibawanya ke atas meja kecil berselimut debu tebal. Ia raih sapu lidi usang di sudut ruang. Sambil bersenandung, Tika membersihkan ruangan itu, membuang sawang-sawang juga sarang laba-laba yang menggantung di bawah asbes lalu mulai menyapu. Sesekali, ia menatap dua orang yang terus terlelap.
Tika menuju dapur yang keadaannya tak kalah memprihatinkan dengan kamar dan ruang tamu. Tangan gadis itu dengan cekatan membersihkan debu di meja panjang dengan kompor satu tungku di atasnya. Tika iseng menyalakan benda itu. Keluar api. Ia merasa bersukur karena benda ini tak ikut dibawa ke rumah baru. Ia memilih menggunakan kompor listrik yang lebih mahal timbang kompor satu tungku. Tika menajamkan indera pendengarnya saat mendengar suara berisik dari arah kamar. Lekas ia berlari mendekat dan mengintip di depan pintu kamar yang tertutup. Lelaki yang kata Al bernama Aswin itu baru saja siuman, menatap sekeliling dengan kernyitan di wajah.
Tika melangkah ke dapur, ia mengedar pandang dan akhirnya meraih tampah. Setelah membersihkan benda itu dari debu, tangannya dengan cekatan meletakkan rantang-rantang ke tampah. Dengan wajah tegang, ia menuju kamar. Jantungnya mengentak kuat saat mendorong pintu. Dua orang lelaki langsung menatapnya dengan wajah heran.
***
Lelaki berkulit putih bersih itu memijit-mijit kepalanya yang terasa berat. Matanya sedikit terpicing, silau oleh sinar matahari yang jatuh ke wajahnya. Dengan heran ia memperhatikan atap dengan beberapa lubang yang membuat sinar putih transparan jatuh ke bawah, membuat lingkaran-lingkaran tak rata pada benda yang dijatuhinya. Di mana ini? Ia mengedar pandang, menatap bilah-bilah kayu yang menjadi dinding ruangan tempatnya merebah. Ia mengenyit saat menatap ke bawah. Sahabatnya sedang terlelap. Wajahnya lebam kebiruang dengan luka yang sepertinya telah dibersihkan.
"Lutfi!" Serunya saat tiba-tiba teringat wajah sang kekasih.
Tangan lelaki itu terangkat menyentuh kepalanya yang terasa berat seakan berputar. Ia mengepalkan tangan saat ingatan membawanya pada malam di mana ia tengah duduk di belakang menjaga Lutfi yang tak sadarkan diri, sementara Deni mengemudikan motor. Saat motor tengah melaju pelan menyusuri jalan SP 2, tiba-tiba saja, segerombolan orang menyerangnya. Ia sempat menyambar tangan salah satu penyerangnya dan memaksa membuka topengnya. Al. Kalau tak salah, di keremangan malam bercahaya rembulan itu, ia melihat Al.
Aswin menggeleng, tak merasa yakin pada penglihatannya. Al sahabat baiknya. Mana mungkin Al yang menikungnya?
Ia menyentuh wajah. Sakit. Kembali ia sentuh wajahnya yang penuh oleh luka. Masih sakit. Ia menghela napas dalam. Itu berarti, penglihatannya tidak salah. Pasti benar, yang semalam dilihatnya dan berkali-kali menonjok wajahnya memang Al. Ia menatap ke bawah, menghela napas saat melihat Deni yang tengah mendengkur pelan.
Dik, sakjake kok ono perlu ...