Perawat Ganteng

Sastra Bisu
Chapter #1

Bab 1: Perawat tampan

POV Diane


"Kamu anterin adek kamu vaksin ya. Hari ini ada jadwal vaksin di sekolah Rayen," kata ayah kepadaku.


Aku benar-benar merasa begitu malas kalau sudah diminta menemani adikku di setiap kegiatan sekolahnya. Ini sangat menyebalkan buatku. Segala kegiatan Rayen di sekolahnya selalu aku ikuti, seakan-akan aku adalah ibu kandungnya.


Sebenarnya apa sih yang dipikirkan ayah dan ibu dulu? Mengapa ia harus kepikiran memiliki anak lagi saat aku sudah beranjak dewasa? Bukannya merasa senang mendapatkan adik, kini malah aku yang harus mengurus bocah lima tahun bernama Rayen itu.


"Aku ada jam kuliah sore, Yah," jawabku malas.


"Jadwalnya 'kan sore, Sayang. Masih sempat anterin Rayen 'kan?"


Mampus! Kenapa juga aku bilang jadwal kuliahku sore. Padahal aku bisa bilang jadwal kuliahku pagi. Ya ampun, kenapa sih kalau masalah trik begini aku agak lambat loading alias lambat berpikir? Giliran cowok ganteng otakku langsung encer. Aku memang kuliah di ITB, tetapi aku tidak sepintar yang dibayangkan orang-orang. Anggap saja aku beruntung bisa masuk di salah satu kampus terbaik di Bandung tersebut.


"Iya, Dinny. Lagian kapan lagi kamu bisa lakukan hal semacam ini. Cuma sekali sebulan loh kamu anterin adikmu ke sekolah." Ibu mulai ikut menasihati.


Setiap sebulan selalu saja ada kegiatan di sekolah Rayen. Entahlah, sekolah itu merupakan sekolah swasta untuk kalangan anak elit. Banyak sekali kegiatan yang diadakan sekolahnya, yang tentu saja menuntut wali atau orang tua datang ke sekolah.


Orang tuaku sibuk. Jadi, tentu saja aku selalu menjadi orang yang memiliki waktu untuk menemani setiap kegiatan sekolah Rayen.


Aku menghela napas, dan melirik Rayen yang tengah asyik makan. Ekspresi wajahnya benar-benar tanpa beban. Dia santai sekali! Tidak tahu kalau kakaknya sedang direpotkan. Jam segini aku seharusnya menikmati tidur atau setidaknya nonton drama Korea. Bukannya menghabiskan waktu ke sekolah adikku.


"Aku enggak mau, Bu. Cari orang lain aja. Kayaknya bibi di rumah bisa pergi deh. Nanti aku gantiin deh bibi nyapu," ujarku lagi.


Daripada mengantar Rayen ke sekolah, lebih baik aku membersihkan rumah. Maksudku, aku tidak akan membersihkan rumah sungguhan. Ini hanyalah trik supaya aku terbebas dari tugas menemani Rayen.


"Enggak ada! Bibi banyak kerjaan di rumah, Din! Cuma kamu yang bisa anterin Rayen. Titik!"


Ibuku melempar tatapan garang. Kalau sudah begini, aku bisa apa? Aku hanya perlu mengantar Rayen, dan pura-pura bahagia di sekolah adikku. Ya sudahlah. Aku pasrah dengan semua keputusan orang tuaku.


"Ya udah deh. Aku kamar dulu siap-siap."


Aku melirik ke arah Rayen dan bertutur, "Kamu jangan malu-maluin kakak ya. Awas aja kalau kamu nangis pas mau disuntik vaksin."


Ini adalah vaksin ketiga untuk seusia Rayen. Memang, orang tuaku rutin memberikan vaksin kepada Rayen. Tujuannya agar kekebalan tubuh Rayen bertambah, dan menghindari penyakit-penyakit yang menyerang anak seperti polio, campak, d.l.l.


Karena orang tuaku termasuk rajin melakukan vaksin maka kegiatan vaksin yang diadakan di sekolahnya kali ini akan menjadi vaksin tahap terakhir bagi Rayen.


***


Aku memakai riasan wajah tipis, mengikat rambutku, kemudian turun ke lantai bawah. Orang tuaku sudah berangkat kerja. Sementara Rayen masih menungguku. Wajahnya dingin, seolah menggambarkan kemarahan di wajah itu.


"Lama," keluhnya.


"Ya, makanya. Siapa suruh nunggu kakak. Coba tadi kamu rengek minta dianterin bibi. Pasti enggak bakalan lama."

Lihat selengkapnya