Tahun seribu tujuh ratus sembilan puluh tujuh Saka atau seribu delapan ratus delapan Saka Jawa, genap empat puluh tahun sudah De Java Oorlog atau yang penduduk pribumi mengingatnya sebagai Perang Jawa, telah berakhir. Namun, kendati sudah lama berakhir, akibat dari perang tersebut masih terus berlangsung. Hampir seluruh Raja dan Bupati di wilayah Mataram tunduk kepada Belanda. Meskipun demikian para Raja dan Bupati masih menyimpan asa, banyak diantaranya yang mendukung gerakan di bawah tanah untuk menggangu pemerintahan Kolonial Belanda. Termasuk diantaranya Bupati Pranaraga Adipati Mertohadinegoro, Mas Sosrokusumo hingga pemerintahan Mas Tumenggung Cokronegoro. Demikian pula dengan Bupati Madiun Prawirodiningrat. Sementara itu, gejolak juga tak luput dalam kehidupan rakyat jelata.
Pembubaran perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie tahun seribu tujuh ratus dua puluh satu Saka atau seribu tujuh ratus tiga puluh dua Saka Jawa, seolah semakin mempertegas kekuasaan Koninkrijk Holland atau Kerajaan Belanda melalui pengalihan aset dan hutang sebesar seratus tiga puluh enam juta gulden. Kerajaan Belanda tidak lagi berkedok kongsi dagang dalam penguasaan hasil bumi tanah Jawa melalui VOC lagi, tetapi secara terang-terangan memulai penjajahannya. Dengan dibubarkannya kongsi dagang tersebut, kebijakan ekonomi yang semakin memberatkan rakyat ditetapkan oleh Keraton Yogyakarta akibat pengaruh tekanan Pemerintah Hindia-Belanda guna pelunasan hutang, yang dijalankan melalui perantaran etnis Tionghoa. Kebencian masyarakat pribumi terhadap warga Tionghoa semakin meningkat sejak peristiwa geger sepehi, akibat bantuan yang diberikan Kapitan Tionghoa di Yogyakarta, Tan Jin Sing, saat penyerbuan seribu tentara gabungan Inggris, Sepoy, dan pasukan Notokusumo ke Keraton Yogyakarta dengan tujuan melengserkan tahta Sultan Sepuh menjadi alasannya.
Kebijakan yang diturunkan oleh Raffles melalui pembayaran pajak dengan uang tunai yang merubah kebiasaan masyarakat Jawa melalui barter, juga menyebabkan banyak orang Jawa terjerumus hutang kepada para renternir Tionghoa setempat yang diberi wewenang dalam mengurus pajak. Demikian pula warisan Daendles yang kembali dilanjutkan Pemerintahan Inggris dengan memonopoli perdagangan kayu jati menyebabkan para bupati kehilangan pemasukan. Meskipun di wilayah Tuban, Lasem, dan Pati masyarakat Tionghoa mendukung perjuangan Mas Antawirya dengan mensuplai senjata, uang, bahkan candu, namun kerukunan antara komunitas Tionghoa dan masyarakat lain di Jawa tidak dapat kembali seperti sediakala, karena rasa saling mencurigai selama pertikaian yang terjadi.
Sementara itu kabut putih dan berembun masih setia menyelimuti seisi lembah di kaki Gunung Merapi. Malam belumlah begitu larut. Langit nampak begitu pucat pekat tertutup kabut. Suara jangkrik pun masih terdengar cukup untuk menghempaskan kantuk bagi yang mendengarnya. Di tengah selimut kabut di sebuah pondok kayu nampak duduk diatas amben bambu yang telah reyot, ditemani secangkir wedang uwuh hangat yang terdiri dari daun-daunan yang lebih mirip seonggok sampah yang dicelupkan dan direndam kedalam air hangat. Namun, wedang tersebut tentu sangat berkhasiat apalagi ditengah hawa dingin yang menyelimuti lembah pagi ini. Sesosok pria berusia lanjut sekitar tujuh puluh tahun tampak sesekali meneguk wedangnya itu, lalu menggosokkan kedua telapak tangannya sambil duduk bersila dan sesekali juga tangannya bersedekap, nampaknya ia sedang memusatkan pikirannya. Tak lama berselang dari jalan setapak yang agak rimbun tertutup semak muncul dua orang berusia remaja berlarian mendekat ke pondok sambil berteriak memanggil sebuah nama. “Ki..Aki keluarlah Ki, kami ada keperluan yang sangat mendesak!” seru salah satu pemuda.
Sesosok pria berusia lanjut yang tengah duduk memalingkan wajah lalu berkata sambil menyunggingkan senyumnya. “Siapakah yang hendak kalian cari? Penghuni pondok ini semuanya sudah aki-aki.”
“Kami mencari Ki Dipa penghuni pondok ini,” lanjut pemuda berbaju kuning.
Tak lama berselang, munculah sesosok tua lain dari balik pintu pondok sambil membawa sepiring bambu ketela kaspi yang masih mengepulkan asap, rupanya hendak disajikan kepada rekannya yang berada di luar.
“Kalian berdua mencariku, ada apa?” tanya Ki Dipa.