Perburuan Pusaka Kanjeng Kiai Suryaraja

prasetya widiharsa
Chapter #2

Sisa Serdadu Perang Jawa

Desa Kaliwening masih cukup pulas dilelap malam, hingga kedatangan kelompok Kelong Wewe Ijo yang menyatroni desa. Sekejap nampak api disudut desa paling dekat dengan hutan merambat kearah timur. Nampak samar suara jeritan para perempuan dan anak-anak diiringi dengan logam-logam yang saling beradu. Nampak beberapa pemuda desa dan kepala desanya terlibat perkelahian sengit melawan para perampok yang mencoba menjarah desa mereka. Ki Sambat Kepala Desa Kaliwening memegang sebilah golok di usianya yang sudah mendekati tujuh puluhan nampak kewalahan menghadapi keroyokan dua orang perampok. Seorang perampok membawa pedang besar bermata satu, sedangkan kawannya memegang tombak bermata dua. Ki Sambat meloncat kebelakang menghindari sabetan pedang lawan, namun dari arah kanan tombak meluncur deras ke tulang rusuknya. Namun, dengan sigap ia melakukan gerak jatuhan simpuh dengan menjatuhkan tubuh serong dengan kaki bersimpuh, sambil tangan kanan menebaskan pedang kearah pergelangan tangan lawan yang memegang tombak. Tak berhenti disitu tangan kirinya menyusul pukulan sadukan kearah ulu hati lawan, dan buuuuk!uuugh! terdengar perampok mengeluh dan ambruk terjengkang ketanah. Sementara dari mulutnya mengalir darah. Kawannya terperanjat melihat kejadian itu, seolah tak percaya hanya dengan satu pukulan saja langsung tumbang, dengan dada membiru bengkak. Tak menyangka lawan memberikan pukulan sadukan dibarengi aji lebur sakethi. Dengan amarah memuncak segera ia mengibaskan pedangnya mengiris kearah bawah tepat kearah pundak kiri Ki Sambat. Dengan cekatan Ki Sambat berguling kebelakang sambil sigap berdiri dan menyerang balik dengan tusukan teratai. Lawan yang tak mengira serangan tersebut tak sempat mengelak, perutnya tertusuk ujung golok lalu ambruk dan nyawanya pun lepas.

Rombongan perampok yang melihat dua kawannya tewas pun menjadi semakin murka, pemuda desa yang tadinya hanya dipermainkan sekarang benar-benar dihajar hingga babak belur. Banyak pemuda desa yang bertumbangan. Salah satu pimpinan dari gerombolan yang berwajah seram bernama Gento Langu berteriak seraya meloncat mendekati Ki Sambat, “Keparat! Pak Tua sudah bosan hidup rupanya, terimalah ini…” sekelebat sinar berwarna kuning keperakan menembus dinginnya malam menghunjam deras dan crash..! Nampak sebuah senjata berupa jarum beracun terbuat dari bambu menancap di pundak kiri Ki Sambat. Ki Sambat merasakan denyut nadinya berubah lebih cepat dan napasnya terasa ikut panas. Pundak kirinya terasa hilang rasa dan tak bisa digerakkan. Tanpa memberi kesempatan lagi Gento Langu meloncat dan mengayunkan kapak panjangnya. Ki Sambat tak tinggal diam, ditangkisnya dengan halang atas namun karena memang kapaknya begitu deras maka sudah dapat ditebak akibatnya patahlah golok itu menjadi menjadi dua. Sedangkan tebasannya masih melaju mengiris kearah sisi kiri bahu yang terluka. Namun gerak elakan samping yang dilakukan Ki Sambat mampu menyelamatkan bahu kirinya yang sudah terluka. Tak ingin lawan memburu dengan serangan lanjutan, Ki Sambat segera merendahkan tubuhnya ketanah sambil berbalik membelakangi lawan serta bertumpu dengan dua tangan kemudian melecutkan tendangan jejakan kuda. Gento terkejut dadanya terkena tendangan cukup telak dan terhuyung kebelakang. Sesaat Ki Sambat dapat mengatur nafasnya. Sementara Gento sambil mengelus dadanya yang terasa nyeri, mulai menakar bahwa lawannya cukup berpengalaman dalam pertarungan. Kali ini kedua orang ini saling waspada dengan sikap pasangnya masing-masing, bersiaga dengan merencanakan serangan. Kali ini Ki Sambat yang memulai serangan dengan sikap pasang selewah bergerak dengan langkah segitiga. Ia memancing lawan dengan dua buah gajulan atas-bawah dan disambung tendangan jlontrotan. Lawannya menyambutnya dengan loncatan mengelak lalu merangsek kedepan. Dibarengi ayunan tebangan kapak dari sisi luar mengarah kedalam, serangan itu disambung dengan sabetan dan tendangan. Ki Sambat tak goyah hanya dengan serangan seperti itu. Pengalamannya ketika terlibat dalam Perang Jawa empat puluh tahun yang lalu memberinya banyak pengalaman. Sedangkan Gento tampak mulai berang, serangannya tak menemui sasaran. Dia hanya unggul karena membawa kapak saja, sedangkan lawannya yang bertangan kosong unggul dari sisi kecepatannya. Gento coba merogoh sakunya yang berisi senjata rahasia, namun upayanya sudah terbaca lawan. Sebelum sempat menghantamkan jarum bambu yang menjadi senjata rahasianya, pergelangan lengannya keburu dicekal dan dikunci lawan. Siku tangannya dibetot kebelakang. Gento ayunkan sikutan kiri kebalik punggungnya, kearah lawan yang kini berdiri dibelakangnya. Namun lawan bisa mengelak dengan memindah posisi kuda-kudanya. Keduanya terlibat adu otot saling mengunci dan melepaskan dari kuncian. Sekali lagi Gento ayunkan tumit kakinya kebelakang kearah selangkang lawan. Ki Sambat sekali lagi memindah kakinya masuk mengunci kaki sambil menghindari tendangan lawan. Tanpa disadari oleh keduanya jarum senjata Gento justru mampir menusuk ke pangkal pahanya sendiri. “Huaah! Sialan kau Pak Tua,” teriak Gento. Gento merendahkan tubuhnya hingga nyaris jongkok lalu berusaha membanting tubuh Ki Sambat yang memang mulai kehabisan tenaga karena lukanya di bahu. Ki Sambat terbanting karena tubuhnya yang lebih kecil, namun tangan Gento patah karena ngotot melepas kuncian dengan bantingan. Keduanya pun terlepas dari pergulatan. Sambil tergopoh gontai Gento berusaha menjauh meninggalkan lawannya, mulutnya tak berhenti mengumpat menahan ngilu akibat patah lengan dan luka dipahanya. Ki Sambat yang terluka juga tak begitu berniat mengejar, mengingat dirinya juga telah terkena racun. Dia lebih memilih bersandar di pohon gaharu sambil mencoba mengatur jalan darahnya.

Di Kejauhan Gento yang hendak tinggalkan gelanggang tarungnya dihadang sosok tinggi hitam berambut gondrong. Matanya yang besar tampak mendelik memandang orang didepannya. Lalu berkatalah sosok itu, “Siapa yang baru saja mengalahkanmu, Gento?”

“Pak Tua itu..Kepala Desa, Dia sudah terluka terkena jarumku,” jawab Gento.

“Oh Ki Sambat, aku tau siapa dia,” lanjut sosok hitam itu.

“Tolong aku Lurahe, aku terkena racunku sendiri,” berucap gento sembari menahan sakit.

Sosok itu lalu berkata, “Kau yang mencipta senjatamu, semestinya kau yang punya penawarnya, bukan aku.”

“Ka..kalau begitu..ce..ce..laka Lurahe, aku tak membawa penawarnya,” ucap Gento.

Tak berselang lama tubuh Gento lalu ambruk. Disertai lidahnya yang menjulur berubah warna menjadi kuning. Tubuhnya kejang. Lehernya tercekat. Sesaat kemudian nyawanya melayang. Tanpa belas kasian sosok hitam itu justru menendang tubuh rekannya yang mati. Hebatnya sekali tendang saja tubuh itu langsung terguling-guling beberapa tombak dan hilang dalam belukar. Menunjukkan bahwa pemilik tendangan memiliki tenaga dalam yang tinggi.

Sosok hitam itu mendekat ke tempat Ki Sambat duduk bersila. Dengan menyeringai ia menendang dada Ki Sambat. Tanpa ampun Ki Sambat yang sudah tak mampu bergerak hanya bisa menahan tendangan itu. Buuuk! Tubuhnya terguling ke belakang dalam posisi bersila. Selanjutnya dengan melompat sosok hitam itu kirimkan tendangan paculan dari atas ke bawah menghunjam kepala lawan. Lawannya yang sudah tak bertenaga tak mampu lagi mengelak. Braaak, kraak! Suara benturan terdengar keras. Sosok hitam itu melotot karena ternyata bukan kepala yang diincarnya yang pecah melainkan beberapa batang bambu yang tiba-tiba saja muncul dan menghalau tendangannya.

“Heh siapa yang berani ikut campur urusan orang? keluarlah jangan bersembunyi!” berseru sosok hitam itu dengan kemarahan.

Sesaat sunyi tak ada jawaban. Lalu sayup terdengar suara.

“Aku disini dibelakangmu, Ki Sanak,” berkata seseorang dibelakangnya itu.

Sosok hitam itu tanpa berbalik langsung kirimkan jejakan belakang ke sasaran dibelakangnya. Namun yang ditendang ternyata sudah tidak ada. Tendangannya hanya menendang angin alias ruang kosong. Kini sosok yang tak lain adalah Ki Dipa sudah berada di depannya. Ki Dipa pun nampak juga terkejut setelah melihat sosok hitam itu. Demikian pula dengan sosok hitam itu.

“Adi Gandapati!” seru Ki Dipa menyebut sebuah nama.

Lihat selengkapnya