Di sebuah daerah pesisir utara Jawa, yang pada masa Mataram Kuno bernama Pragota. Pada masa pemerintahan Kasultanan Demak, wilayah Pragota dipimpin oleh Pangeran Made Pandan atau yang berjuluk Sunan Pandanarang. Daerah itu yang konon dikarenakan banyaknya ditumbuhi pohon asam, diberikan gelar Semarang. Pada masa pemerintahan Raden Mas Rahmat dari Kasunanan Mataram di Kartasura, Semarang dan sekitarnya digadaikan kepada VOC sebagai bagian pembayaran hutang. Kemudian, di masa pemerintahan Raden Mas Drajat di Kartasura, Semarang diserahkan kepada VOC sebagai bagian dari perjanjian merebut kembali Keraton Kartasura dari Raden Mas Sutikno. Sejak saat itu Semarang resmi menjadi kota milik VOC dan kemudian beralih kepada Pemerintah Hindia-Belanda setelah kebangkrutan VOC.
Lima puluh sembilan tahun yang lalu, di sebuah kediaman milik Bupati Terboyo, bertamu pejabat tinggi Kerajaan Inggris yang baru saja mengambil alih Pemerintah Hindia-Belanda, diantaranya Thomas Stamford Raflles, mantan Gubernur Jenderal sementara Hindia-Inggris Lord Minto pengganti Herman Willem Daendless Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Residen Inggris untuk Yogyakarta John Crawford, Komandan pasukan Colin Mackenzie, Kapitan Tan Jin Sing, Pangeran Natakusuma, serta beberapa orang penting lainnya.
Keberadaan para tamu tersebut guna membahas peralihan Pemerintahan Hindia-Belanda ke tangan Raflles, namun disela-sela pembicaraan tersebut muncul pembahasan mengenai hukuman mati yang dijatuhkan kepada Patih Danurejo oleh Sultan Sepuh penguasa Kasultanan Mataram Yogyakarta. Perihal hukuman tersebut, Minto mengatakan bahwa semestinya Sultan Sepuh diberikan hukuman atas tindakannya tersebut, namun Raflles masih ragu mengambil keputusan itu. Alasan dibalik keraguan itu dikarenakan adanya pertimbangan untuk merangkul Sultan Mataram yang baru saja naik tahta untuk kedua kalinya itu kedalam pihaknya.
Raflles adalah seorang yang gemar terhadap ilmu pengetahuan, budaya, dan purbakala, bahkan sering pula ia menulis pengetahuannya dalam catatan perjalanannya. Ia juga getol dalam mempelajari budaya Melayu, dan juga Jawa. Beberapa bahasa pun telah ia pelajari, bahasa Belanda, Portugis, Melayu, Jawa, dan bahkan bahasa Cina. Kali pertama kedatanganya ke Jawa terdapat sesuatu yang membuatnya tertarik, pertama adalah mitos yang berasal dari naskah Melayu Kuno, mengenai suatu bangunan kuno peninggalan peradaban Wangsa Sailendra yang terpendam letusan Gunung Merapi. Kedua, sebuah sastra yang ditulis oleh penguasa Mataram Yogyakarta saat itu, yaitu Sultan Sepuh mengenai tulisannya yang bernama Kanjeng Kiai Suryaraja. Menurut penuturan Minto, Wahyu Suryaraja berisi tentang rahasia Mitos Akhir Jaman. tentang adanya sebuah kerajaan yang runtuh di tanah Jawa. Namun, menurut Pangeran Natakusuma serat itu berisi keinginan Sultan Sepuh untuk menyatukan wilayah Mataram dibawah Kasultanan Yogyakarta. Penyatuan wilayah tersebut tentu akan memicu pergolakan dan menggangu keseimbangan Pemerintahan Hindia-Inggris termasuk Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran.
Hal yang membuatnya menarik adalah rahasia dibalik serat itu. Sudah menjadi kebiasaan para Brahmana, Pandita, atau Wali di Jawa yang memasukkan sanepan ke dalam karya sastra untuk menutupi pengetahuan rahasia yang terkandung didalamnya. Seperti halnya serat ramalan Sri Jayabhaya dan Serat Sabdopalon-Noyogenggong terdapat banyak sekali sanepan yang berisi rahasia kebangkitan bangsa jawa didalamnya. Pujangga utama Surakarta Mas Panjangswara bahkan juga pernah didatangkan guna menerjemahkan isi dari berbagai macam serat yang ada ditanah jawa tersebut. Namun, beberapa orang yang hadir membahasnya kali ini lebih mengutamakan sisi politisnya ketimbang hakikat yang terkandung di dalam serat itu. Cita-cita penyatuan Mataram yang terbersit dari serat itulah yang menjadikannya ancaman bagi Kasunanan Mataram dan Praja Mangkunegaran, termasuk kekuasaan Hindia-Inggris di Jawa. Beberapa orang yang hadir, termasuk John Crawford bahkan mengusulkan supaya Kasultanan Mataram membubarkan angkatan perang, merampas naskah kuno yang menjadi pusaka agar tidak dipelajari dan diajarkan. Bahkan jika perlu menyelewengkan keaslian dokumen dengan cara menghilangkan dan mengganti pada duplikat yang diterbitkan, termasuk menambahi dengan ajaran dan budaya asing. Tujuan dari semua itu adalah untuk melemahkan semangat masyarakat Jawa dalam berjuang mengubah nasibnya.
Kurang lebih satu tahun berselang dari pertemuan itu, uluran tangan perdamaian melalui tuntutan pembubaran angkatan perang kerajaan justru menyulut peperangan meletus. Kekuatan Mataram Yogyakarta yang baru saja dipimpin raja sekembalinya dari pengasingan belum begitu kokoh untuk menggalang pertahanan dan konsolidasi politik. Pada akhirnya bersamaan dengan jebolnya pertahanan Benteng Baluwarti, Kutaraja Yogyakarta benar-benar telah runtuh. Baginda Raja Sultan ditangkap dan kali ini diasingkan ke Penang. Semenjak itu penjarahan pun dimulai. Harta benda dan pusaka kerajaan dirampas, dan seperti yang direncanakan, naskah dan serat kuno serta pusaka kerajaan ikut dirampas. Dengan menggunakan beberapa gerobak, naskah kuno, perhiasan, dan pusaka tersebut semuanya diangkut dalam peti dibawa meninggalkan gerbang Plengkung Jagasura dengan pengawalan tentara gabungan Hindia-Inggris, Sepoy, Hindia-Belanda, serta beberapa laskar pribumi menuju Benteng Rustenburg. Di tempat tersebut, Raffles segera memerintahkan beberapa orang ahli penerjemah untuk diberangkatkan ke Kerajaan Inggris bersama dengan naskah dan serat kuno pusaka yang diambil dari Kerajaan Mataram Yogyakarta.
Namun, pada malam anggara kasih, setelah gerobak dan peti terakhir pemindahan naskah dan pusaka kerajaan itu dilaksanakan. Di sebuah bangunan dalam benteng keraton, terdapat dua sosok yang sedang bertemu secara diam-diam. Salah satu diantaranya berbadan agak kurus berpakaian Jawa lengkap, sedangkan orang di depannya berbadan cukup tinggi berpakaian hitam. Orang yang lebih muda berpakaian hitam tampak mengangguk-angguk, keduanya berbicara dengan lirih seperti agar tak terdengar oleh tembok istana. Seseorang yang berpakaian Jawa lengkap segera menyerahkan sebuah gulungan kertas tebal kepada orang didepannya seraya berkata, “Sampaikan kepada Eyang Wanu Tejokusumo di Wonorejo, pesan terakhir ini dari Baginda Sultan sebelum dibawa ke Penang, selamatkanlah Kanjeng Kiai Suryaraja.”