Dalam lampu temaram yang melemuri halaman rumah di luar sana, mencanangkan malam dipenuhi pepohonan menjulang yang begitu syahdu, mencekamkan.
Tidak terlihat bersahabat dengan keindahan semanjungan akan pesona sejuk di luar sana tetapi keangkuhan malam syahdu itu begitu memikat, menekapkan sedangkalan hamparan aksa bersama iringan tawa di pelupuk matanya.
Malam bagi siapapun menyeramkan itu, menjadi indah, terlampau indah untuk melebur ke kubangan tragis karena ia tak mempunyai daya lebih baik lagi untuk menghimpun seluruh wajah dengan penuh tikungan di sana, di dalam peraduannya untuk mengitari penjuru jalanan malam.
POV: ON RECORD
"Apa yang kamu pikirkan kalau ada meteor jatuh?" Adrianna menoleh ke sosok yang baginya itu, aneh. Ia mengabaikan layar tengah merekamnya itu saking menganggap sosok yang mempertanyakannya itu .. aneh.
Dari segala pesona alam surya yang mengugah Adrianna, bagaimana bisa meteor menjadi salah satu harus ia pertimbangkan untuk menyentuh bumi? Adrianna tidak bermaksud untuk membenci meteor.
Namun biasanya ia akan bertemu dengan pertanyaan semacam bagaimana bintang jatuh untuk membuatnya percaya kalau dia bisa merangkai permohonan, harapan?
Adrianna tidak mempercayainya tetapi ia menginginkannya. Setidaknya, melihat benda itu meluncur dengan indah di langit saja dahulu, tak masalah. Henyak tawa pun menyergah seluruh ruangan saat Adrianna berbicara.
"Mengapa harus meteor? Aku belum kepikiran sama sekali kalau seandainya meteor itu akan membakar rumahku."
"Kupikir nggak sampai ke rumahmu tetapi seandainya kamu melihatnya di laut."
"Itu menyeramkan," sahut Adrianna dengan pandangan lurus. Tenggelamnya matahari di depannya kini cukup merekatkan pandangan Adrianna untuk mengacuhkan segala di sekitar perempuan itu. Termasuk sosok yang tengah merekamnya maupun keadaan tengah dirinya direkam.
"Apa yang akan kamu bayangkan?"
Di pikiran Gya saat menatap wajah itu, wajah yang seiring tenggelamnya sang cakrawala itu, ikut menyatu dalam luruhnya warna mendera tanpa mengetahui adanya gemerisik menghulu benak Gya, hal mana itu tentang apa saja yang akan berdampak seandainya meteor menyapa laut.
Gya masih bisa merasakan atmosfer itu ketika memikirkan riuhnya laut di sana, di tengah tenggelamnya tatapan Adrianna dalam senja di hadapannya. "Akan ada sebuah badai.. atau tsunami, mungkin?"
Adrianna tiba-tiba menoleh ke layar rekaman. "Apakah kita harus berbicara dengan bahasa saintik?" Perempuan tersebut menyengir. Dan Gya ingat, setelahnya itu, Gya hanya menggelengkan kepala.
"I want to be a kid when I'm with you."
Lantas di ujung senja kian menipis, jarak keduanya pun turut membelakangi sinar mereka dengan kecupan ringan saling beradu untuk mengenyak malam yang banyak ceritanya.
Layar seketika menghitam. Sebagai peralihan ke rekaman berikutnya. Dan di sinilah sekarang mereka berada. Kamera menyorot sosok perempuan yang tengah bergerak ke sana, ke mari.
Di setiap gerakkan perempuan itu untuk memperdalam perannya, tak mengurangi sedikitnya kekokohan kamera yang merekam seluruh intrik tengah memahat pinggul, tangan, kaki lalu .. binaran wajah dalam ekspresi melatahi Gya ke suatu tempat.
"Hey Tuan Kecil yang sedang di balik pohon, bolehkah saya meminta lobak dari hasil perkebunanmu?"
Adrianna, memiringkan wajahnya untuk mengintip ke celah pohon yang sesekali bergerak. Wuuush .. wussshh ... Suara-suara menjadi latarbelakang aksi Adrianna, merenggas ke dalam tangkapan rekaman.
Namun itu tidak mengganggu Gya sama sekali melainkan suara-suara hembusan angin buatan dan beberapa nyanyian kecil semacam siulan tersebut, bisa menyamarkan ritme jantung Gya yang begitu fasih bergetar di atas normal.
Hingga detik yang bahkan sekadar menontonnya dari balik layar.