Percy Jackson & Olympians #4 - The Battle of the Labyrinth

Noura Publishing
Chapter #3

2 Dunia Bawah Iseng Menelepon Diriku

Tidak ada yang bisa menandingi berakhirnya pagi yang sempurna seperti perjalanan panjang naik taksi bersama cewek yang marah.

Aku mencoba bicara kepada Annabeth, tapi dia bersikap seolah aku baru saja meninju neneknya. Yang berhasil kukorek darinya hanyalah bahwa dia mengalami musim semi penuh monster di San Fransisco; dia sudah kembali ke perkemahan dua kali sejak Natal tapi tidak mau memberitahuku sebabnya (yang bikin aku kesal, soalnya dia bahkan tidak memberitahuku bahwa dia sempat berada di New York); dan dia tidak tahu apa-apa tentang keberadaan Nico di Angelo (ceritanya panjang).

“Ada kabar tentang Luke?” tanyaku.

Dia menggeleng. Aku tahu ini adalah subjek yang peka baginya. Annabeth selama ini selalu mengagumi Luke, mantan kepala konselor untuk pondok Hermes yang telah mengkhianati kami dan bergabung dengan Raja Titan yang jahat, Kronos. Dia tidak bakal mengakuinya, tapi aku tahu dia masih menyukai Luke. Ketika kami bertempur melawan Luke di Gunung Tamalpais musim dingin lalu, Luke entah bagaimana selamat setelah jatuh dari tebing setinggi lima belas meter. Sekarang, sejauh yang kutahu, dia masih berlayar naik kapal pesiarnya yang penuh monster sementara Raja Kronos-nya yang terpotong-potong terbentuk kembali, sedikit demi sedikit, dalam sarkofagus emas, mengulur-ulur waktunya sampai dia punya cukup kekuatan untuk menantang dewa-dewi Olympia. Dalam bahasa separuh-dewa, kami menyebutnya “masalah”.

“Gunung Tam masih dipenuhi monster,” kata Annabeth. “Aku tidak berani dekat-dekat, tapi kupikir Luke tidak ada di atas sana. Kupikir aku akan tahu kalau dia di sana.”

Itu tidak membuatku merasa lebih baik. “Bagaimana dengan Grover?”

“Dia di perkemahan,” kata Annabeth. “Kita akan bertemu dia hari ini.”

Annabeth memuntir-muntir kalung manik-maniknya, yang biasa dilakukannya saat dia cemas.

“Kau lihat saja nanti,” katanya. Tapi dia tidak menjelaskan.

Saat kami menuju Brooklyn, aku menggunakan telepon Annabeth untuk menelepon ibuku. Blasteran mencoba tidak menggunakan ponsel bilamana kami bisa menghindarinya, sebab menyiarkan suara kami bagaikan mengirim suar bagi para monster: Aku di sini! Silakan makan aku sekarang! Tapi kurasa telepon ini penting. Aku meninggalkan pesan di mesin penerima telepon rumah kami, mencoba menjelaskan apa yang telah terjadi di Goode. Upayaku mungkin tidak terlalu berhasil. Kuberi tahu ibuku bahwa aku baik-baik saja, dia tidak usah cemas, tapi aku akan tinggal di perkemahan sampai kekacauan mereda. Aku memintanya memberi tahu Paul Blofis bahwa aku minta maaf.

Kami berkendara dalam keheningan setelah itu. Kota bagaikan meleleh sampai kami keluar dari jalan tol dan meluncur lewat kawasan pinggiran di utara Long Island, melintasi kebun-kebun buah dan tempat pengolahan anggur serta kios-kios hasil bumi segar.

Aku menatap nomor telepon yang telah Rachel Elizabeth Dare torehkan di tanganku. Aku tahu ini gila, tapi aku tergoda untuk meneleponnya. Mungkin dia bisa membantuku memahami apa yang tadi dibicarakan oleh si empousa—perkemahan yang terbakar, teman-temanku ditawan. Dan kenapa Kelli meledak menjadi kobaran api?

Aku tahu monster tidak pernah sungguh-sungguh mati. Pada akhirnya—mungkin berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun dari sekarang—Kelli akan terbentuk kembali dari keburukan primordial yang menggelegak di Dunia Bawah. Tapi tetap saja, monster biasanya tidak membiarkan diri mereka dihancurkan semudah itu. Kalau dia memang benar-benar hancur.

Taksi keluar di Route 25A. Kami menuju ke hutan di sepanjang Pesisir Utara sampai bubungan rendah perbukitan muncul di kiri kami. Annabeth menyuruh sang sopir menepi di Farm Road 3141, di bawah Bukit Blasteran.

Sang sopir mengernyitkan dahi. “Nggak ada apa-apa di sini, Non. Kau yakin mau keluar?”

“Ya, terima kasih.” Annabeth menyerahkan segulung uang fana kepadanya, dan sang sopir memutuskan untuk tidak protes.

Annabeth dan aku mendaki ke puncak bukit. Naga penjaga yang masih muda sedang terkantuk-kantuk, bergelung mengelilingi pohon pinus, tapi dia mengangkat kepalanya yang berwarna tembaga saat kami mendekat dan membiarkan Annabeth menggaruk bagian bawah dagunya. Uap berdesis ke luar lubang hidungnya seperti dari poci teh, dan matanya dijulingkan karena keenakan.

“Hei, Peleus,” kata Annabeth. “Menjaga agar semuanya aman, ya?”

Kali terakhir aku melihat si naga panjangnya masih sekitar dua meter. Sekarang panjangnya paling tidak sudah dua kali lipat, dan ukuran badannya nyaris setebal pohon yang dilingkarinya. Di atas kepalanya, di dahan terendah pohon pinus, Bulu Domba Emas gemerlapan, sihirnya melindungi batas-batas perkemahan dari serangan. Si naga tampak rileks, seolah semuanya baik-baik saja. Di bawah kami, Perkemahan Blasteran terlihat damai—ladang-ladang hijau, hutan, bangunan-bangunan putih kemilau ala Yunani. Rumah peternakan empat lantai yang kami sebut Rumah Besar berdiri dengan bangga di tengah-tengah ladang stroberi. Di utara, selewat pantai, Selat Long Island berkilau di tengah terpaan cahaya matahari.

Walau begitu ... ada sesuatu yang terasa salah. Ada ketegangan di udara, seolah bukit itu sendiri sedang menahan napas, menanti terjadinya sesuatu yang buruk.

Kami berjalan turun ke lembah dan mendapati sesi musim panas sedang meriah-meriahnya. Sebagian besar pekemah telah tiba Jumat lalu. Jadi, aku merasa sudah ditinggalkan. Para satir sedang memainkan seruling mereka di ladang stroberi, membuat tanaman tumbuh dengan sihir rimba. Para pekemah sedang mengikuti pelajaran berkuda, terbang di atas hutan di punggung pegasus mereka. Asap membubung dari bengkel logam, dan palu berdenting saat anak-anak membuat senjata mereka sendiri untuk pelajaran Seni dan Kerajinan. Tim Athena dan Demeter sedang mengadakan balapan kereta tempur keliling lintasan, dan di atas danau kano beberapa anak di atas kapal perang Yunani sedang melawan ular laut besar berwarna jingga. Hari yang biasa-biasa saja di perkemahan.

“Aku perlu bicara kepada Clarisse,” kata Annabeth.

Aku menatapnya seakan dia baru saja berkata Aku perlu makan sepatu bot besar yang bau. “Untuk apa?”

Clarisse dari pondok Ares adalah salah satu orang yang paling tidak kusukai. Dia penindas yang kejam dan tidak tahu terima kasih. Ayahnya, sang dewa perang, ingin membunuhku. Clarisse mencoba memukuliku sampai jadi bubur secara rutin. Di luar semua itu, dia memang hebat.

“Kami sedang mengerjakan sesuatu,” kata Annabeth. “Sampai ketemu nanti.”

“Mengerjakan apa?”

Annabeth melirik ke hutan.

“Akan kuberi tahu Chiron kau ada di sini,” katanya. “Dia pasti ingin bicara denganmu sebelum dengar pendapat.”

“Dengar pendapat apaan?”

Tapi, dia berlari-lari kecil menyusuri jalan setapak menuju arena panah tanpa melihat ke belakang.

“Iya, deh,” gumamku. “Aku juga senang ngobrol denganmu.”

Saat aku jalan-jalan keliling perkemahan, aku mengucapkan salam kepada beberapa temanku. Di pelataran Rumah Besar, Connor dan Travis Stoll dari pondok Hermes sedang mengutak-atik kabel mobil SUV perkemahan untuk menyalakan mesinnya. Silena Beauregard, kepala konselor untuk pondok Aphrodite, melambai kepadaku dari pegasusnya saat dia terbang melintas. Aku mencari-cari Grover, tapi aku tidak melihatnya. Akhirnya aku sampai ke arena pedang, tempat aku biasanya pergi ketika suasana hatiku sedang jelek. Berlatih selalu membuatku tenang. Mungkin karena bermain pedang adalah satu hal yang sungguh-sungguh kupahami.

Aku berjalan masuk ke amfiteater dan jantungku hampir berhenti. Di tengah-tengah lantai arena, sambil memunggungiku, terdapat anjing jenis hellhound terbesar yang pernah kulihat.

Maksudku, aku sudah pernah melihat anjing neraka yang lumayan besar. Seekor yang berukuran sebesar badak mencoba membunuhku ketika umurku dua belas. Tapi anjing neraka ini lebih besar daripada tank. Aku tidak punya gambaran bagaimana cara ia melewati batas-batas sihir perkemahan. Ia terlihat santai, seolah berada di rumah sendiri, berbaring di atas perutnya, menggeram nyaman sambil mengunyah kepala boneka target. Ia belum menyadari kehadiranku, tapi kalau aku mengeluarkan suara, aku tahu dia bakal merasakan keberadaanku. Tidak ada waktu untuk pergi minta bantuan. Aku mengeluarkan Riptide dan membuka tutupnya.

“Hiaaaaat!” Aku menyerbu. Aku menurunkan bilah pedang ke sisi belakang si monster yang berukuran luar biasa besar saat entah dari mana pedang lain memblok seranganku.

KLANG!

Si anjing neraka mengangkat telinganya. “GUK!”

Aku melompat ke belakang dan secara instingtif menyerang si pemegang pedang—seorang pria berambut kelabu yang mengenakan baju zirah Yunani. Dia menangkis seranganku dengan mudah.

“Tenanglah yang di sana!” katanya. “Damai!”

“GUK!” Gonggongan si anjing neraka mengguncangkan arena.

“Itu anjing neraka!” teriakku.

“Dia tidak berbahaya,” kata sang pria. “Itu Nyonya O’Leary.”

Aku berkedip. “Nyonya O’Leary?”

Mendengar bunyi namanya, si anjing neraka menggonggong lagi. Aku menyadari dia tidak marah. Dia sedang senang. Dia menyikut boneka target basah yang kondisinya sudah parah karena dikunyah-kunyah ke arah si pria berpedang.

“Gadis pintar,” kata pria itu. Dengan tangannya yang bebas dia mencengkeram leher manekin berzirah itu dan melemparkannya ke bangku penonton. “Ambil si orang Yunani! Ambil si orang Yunani!”

Nyonya O’Leary melompat mengejar buruannya dan menerkam si boneka, menginjak baju zirahnya sampai gepeng. Dia mulai mengunyah helm si boneka.

Si pria berpedang tersenyum kering. Usianya lima puluhan, tebakku, dengan rambut kelabu pendek serta janggut kelabu yang terpangkas rapi. Dia bugar untuk ukuran pria tua. Dia mengenakan celana mendaki gunung berwarna hitam dan pelindung dada perunggu tersandang di atas T-shirt jingga perkemahan. Di dasar lehernya ada tanda aneh, noda keunguan layaknya tanda lahir atau tato, tapi sebelum aku bisa mengetahui apa itu, dia memindahkan tali baju zirahnya dan tanda itu pun menghilang di balik kerahnya.

“Nyonya O’Leary adalah binatang peliharaanku,” dia menjelaskan. “Aku tak bisa membiarkanmu menancapkan pedang ke pantatnya, iya, kan? Itu mungkin bakal menakutinya.”

“Siapa kau?”

“Janji tak membunuhku kalau aku menyingkirkan pedangku?”

“Kayaknya, sih.”

Dia menyarungkan pedangnya dan mengulurkan tangannya. “Quintus.”

Aku menjabat tangannya. Tangannya sekasar ampelas.

“Percy Jackson,” kataku. “Maaf soal—Bagaimana sampai Anda, eh—”

“Punya binatang peliharaan berupa anjing neraka? Ceritanya panjang, melibatkan banyak situasi nyaris tewas yang genting dan beberapa mainan kunyah raksasa. Omong-omong, aku instruktur tarung pedang yang baru. Membantu Chiron sementara Pak D sedang pergi.”

“Oh.” Aku mencoba tidak menatap saat Nyonya O’Leary merobek perisai boneka target dengan lengan yang masih melekat dan menggucang-guncangnya bagaikan Frisbee. “Tunggu dulu, memangnya Pak D sedang pergi?”

“Iya. Well ... masa-masa sibuk. Bahkan Dionysus pun harus membantu. Dia akan mengunjungi beberapa teman lama. Memastikan mereka ada di pihak yang benar. Aku mungkin seharusnya tidak mengatakan lebih daripada itu.”

Kalau Dionysus sedang pergi, itu adalah kabar terbaik yang kuterima sepanjang hari. Dia menjadi direktur perkemahan kami semata karena Zeus mengirimnya ke sini sebagai hukuman karena mengejar peri pohon yang terlarang. Dia membenci para pekemah dan mencoba membuat hidup kami sengsara. Karena dia pergi, musim panas ini mungkin saja bakal betul-betul asyik. Di sisi lain, kalau Dionysus berhenti bersantai-santai dan sungguh-sungguh mulai membantu para dewa untuk merekrut tenaga melawan ancaman Titan, kelihatannya keadaan sudah lumayan buruk.

Di kiriku, terdengar bunyi BUM nyaring. Enam peti kayu seukuran meja piknik ditumpuk di dekat sana, dan peti-peti itu berkelontangan. Nyonya O’Leary memiringkan kepalanya dan berderap ke arah peti-peti itu.

“Tenang, Non!” ujar Quintus. “Itu bukan buatmu.” Dia mengalihkan perhatian si anjing neraka dengan Frisbee dari perisai perunggu.

Peti-peti itu berderak dan berguncang. Ada huruf-huruf tercetak di sisi-sisinya, namun berkat disleksiaku perlu beberapa menit bagiku untuk mengartikan kata-kata berikut:

PETERNAKAN TRIPEL G

MUDAH PECAH

ATAS SEBELAH SINI

Di sepanjang bagian bawah, dengan huruf-huruf yang lebih kecil: BUKA DENGAN HATI-HATI. PETERNAKAN TRIPEL G TIDAK BERTANGGUNG JAWAB ATAS KERUSAKAN PROPERTI, LUKA-LUKA, ATAU KEMATIAN YANG LUAR BIASA MENYAKITKAN.

“Apa yang ada di dalam kotak?” tanyaku.

“Sedikit kejutan,” kata Quintus. “Kegiatan latihan untuk besok malam. Kau bakal menyukainya.”

“Eh, oke, deh,” kataku, meskipun aku tidak yakin soal bagian “kematian yang luar biasa menyakitkan”.

Quintus melemparkan perisai perunggu, dan Nyonya O’Leary tertatih-tatih mengejarnya. “Kalian anak muda perlu lebih banyak tantangan. Mereka tidak punya perkemahan seperti ini waktu aku masih kanak-kanak.”

“Anda—Anda blasteran?” aku tidak bermaksud untuk kedengaran begitu kaget, tapi aku tidak pernah melihat manusia setengah dewa yang tua sebelumnya.

Quintus terkekeh. “Beberapa dari kita berhasil selamat sampai masa dewasa, kau tahu. Tidak semua dari kita menjadi subjek ramalan mengerikan.”

“Anda tahu tentang ramalanku?”

“Aku sudah dengar beberapa hal.”

Aku ingin menanyakan beberapa hal apa, tapi tepat saat itu Chiron berkelotakan masuk ke arena. “Percy, di situ kau rupanya!”

Dia pasti baru saja datang dari mengajar panahan. Ada sarung anak panah serta busur yang tersandang di atas T-shirt CENTAURUS #1-nya. Dia telah memangkas rambut dan jenggot cokelat keritingnya untuk musim panas, dan separuh tubuh sebelah bawahnya, yang berupa kuda putih, diperciki lumpur dan rumput.

“Kulihat kau sudah bertemu instruktur baru kita.” Nada suara Chiron ringan, tapi ada pandangan gelisah di matanya. “Quintus, apa kau keberatan kalau kupinjam Percy?”

“Tidak sama sekali, Tuan Chiron.”

“Tidak perlu memanggilku ‘Tuan’,” kata Chiron, meskipun dia kedengarannya senang. “Ayo, Percy. Kita punya banyak hal untuk didiskusikan.”

Aku melirik Nyonya O’Leary sekali lagi, yang sekarang sedang mengunyah kaki si boneka target.

Lihat selengkapnya