Perempuan Amuk

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #1

Tan Peng Nio

Lembaran lidah api membumbung ke angkasa, menjilati habis bangunan-bangunan Cina yang bertebaran di badan sungai. Jeritan kepedihan meruap ke angkasa malam hari itu, berkelindan dengan teriakan kematian. Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat tubuh-tubuh berjatuhan, mayat-mayat bergelimpangan bagai dedaunan kering yang gugur ke tanah.

Satu keluarga Cina, ditarik keras, diseret keluar dari rumah mereka yang terbakar untuk dilemparkan begitu saja di pekarangan. Bayangkan saja, satu keluarga itu lebih memilih terpanggang di rumah mereka sendiri dibanding dibunuh dengan keji oleh para serdadu Betawi[1] Holanda[2] yang dibantu para prajurit pribumi[3] bayaran itu.

Keempat orang itu, terdiri dari sepasang suami istri dan kedua anak laki-lakinya yang masih belia, dilemparkan menumpuk menjadi satu.

Empat tentara Holanda yang berkulit pucat dan berambut jagung berbaris di depan mereka dengan bedil lontak[4] teracung ke depan sedangkan beberapa pasukan pribumi berkulit gelap berdiri di sekitar mereka dengan pedang terhunus, menyeringai mengancam bagai anjing-anjing galak mengelilingi binatang buruan yang lemah, terluka, dan ketakutan.

Dadaku tersentak, padahal bukan aku yang ditembak.

Letusan bedil menggelegar bagai bunyi geledek. Asap putih tebal menyaru dengan asap kebakaran di udara.

Satu pelor untuk satu nyawa.

Sang ayah, masih meregang nyawa, mata Cinanya yang sipit kini harus membelalak tak percaya melihat semua anggota keluarganya telah bersimbah darah dan tak bergerak lagi.

Satu sabetan bersih menebas kepalanya yang kemudian menggelinding jatuh ke pekarangan rumah. Salah satu anjing kompeni[5] berkulit gelap itu yang baru saja melakukannya, menuntaskan pekerjaan tuan-tuan mereka yang tak mampu melepaskan nyawa dari raga laki-laki Cina itu.

Tak pernah aku rasakan tubuhku bergetar sehebat ini. Aku takut, sungguh, tetapi rasa amarah dan kebencian yang luar biasa inilah yang ternyata menyapu habis ketakutanku. Aku tak gentar sama sekali. Telapak tanganku sampai terasa sakit karena menggenggam gagang keris terlalu kuat.

“Ah-Nio, jaga tindakanmu! Jangan terpancing! Tujuan kita adalah untuk pergi keluar dari tempat ini dan menyelamatan diri. Kalau kau nekat, bagaimana cara A-Peh-mu ini menempatkan muka di depan A-Pa[6]-mu, apalagi kalau sampai kau terluka?” seru A-Peh[7] Beeng Gio tertahan.

Satu tangannya mencengkram lenganku keras, satunya lagi menggenggam dao[8] yang terhunus.

Kami terpaksa harus bersembunyi, berlari merunduk-runduk dari satu bangunan ke bangunan lain sepanjang tepian sungai di dalam benteng Betawi ini sembari melihat pembantaian demi pembantaian sebagai tontonan yang lucu dan tak menghibur sama sekali.

Lihat selengkapnya