“Khu Hô, Hok Hoâ.… Khu Hô, Hok Hoâ.… Khu Hô, Hok Hoâ.…,” semboyan mengusir Manchu, mengembalikan tanah Han itu terus bergaung di ruangan kecil penuh dengan para prajurit Han yang gagah berani. Para prajurit yang berada di bawah perintahku itu mengacungkan tombak, dao, dan perisai mereka ke udara, memekikkan semangat keagungan gerakan 華義會, Hoā-gī-hōe[1], Gerombolan Huayi Merdeka, Kelompok Huayi Penegak Keadilan.
Aku lahir di sebuah negeri dimana langit tidak menjadi atap, dan tanah tidak lagi memberikan tempat bagi orang-orangnya. Di desaku, orang-orang berkata, “Qing memiliki kekaisaran, tapi rakyat mempunyai penderitaan. Manchu berada jauh di istana, tetapi rasa sakitnya terasa sampai dapur kita.”
Semenjak aku lahir ke dunia, yang kukenal hanya penderitaan dan ketidakadilan. Bagaimana tidak, setiap warsa pajak naik, sedangkan panenan turun. Pejabat-pejabat Qing semakin rakus, lebih rakus dibanding tikus-tikus di ladang padi.
Kami yang bekerja di sawah, tetapi ibuku hanya bisa menanak bubur encer karena beras tidak pernah cukup untuk kami sekeluarga.
Maharaja Qianlong yang orang Manchu itu memang sedang dalam masa keemasannya. Namun, segala hal yang ia capai bersama para pendahulunya adalah sebuah bentuk penjajahan menyeluruh. Kaisar keempat Wangsa Qing yang memerintah orang-orang Han di tanah kami sendiri tersebut, melanjutkan kebiasaan para maharaja sebelumnya. Orang-orang Han harus mengikuti aturan soncoho[2], dimana para pria harus mencukur bagian depan kepala, sedangkan rambut di bagian belakang harus dibiarkan panjang dan dikepang. Ini sudah berlaku sejak masa penaklukan bangsa Qing Manchu[3] sampai sekarang[4]. “Biarkan rambutmu, hilanglah kepalamu; selamatkan kepalamu, tinggalkan rambutmu,” begitu semboyan yang digaung-gaungkan oleh kerajaan.
Aturan ini juga membuat mudah bagi mereka untuk membedakan mana yang berkehendak memberontak, mana yang setia, serta mana yang takut dan menjadi anjing-anjing Qing. Bagi mereka yang menolak aturan ini, mereka harus siap kehilangan kepala, entah benar-benar dipenggal atau dihukum mati dengan beragam cara.
Aku harus memanggul beban ini semenjak kecil. Aku ingat ketika suatu waktu, di dalam ingatanku yang masih belia namun tak lagi samar, pada fajar yang yang belum matang, genderang kerajaan ditabuh bertalu-talu dari arah balai desa.
Dari lembah, suara itu telah terasa tajam bagai ujung tombak yang menusuki rumah-rumah rakyat Han di lereng perbukitan Guangdong bagian selatan.
A-Pa-ku, tewas di tempat. Rambutnya yang panjang dan hitam, dipelihara sejak kecil sebagai lambang kesetiaan pada leluhur, bangsa Ming[5] yang besar, rupa-rupanya menjadi alasan kematiannya.
Kaum laki-laki menangis, bukan, bukan karena kematian, tetapi karena kesetiaan dan harga diri mereka tercerabut dari asalnya. Para prajurit Manchu berbusana kulit dan penutup kepala bulu mencengkram lengan kepala desa yang pucat ketakutan.
“Siapa pun yang menolak aturan rambut akan dianggap pemberontak!” seru salah satu diantaranya.
Tangis, teriakan, dan desah putus asa yang bercampur menjadi satu pecah akhirnya.