Perempuan Amuk

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #3

Lie Beeng Goe

Empat warsa yang lalu, tepatnya Rén-zǐ[1], warsa tikus unsur air Yang, aku bertolak dari Chaozhou[2] berlayar ke Nanyang. Angin musim timur bergelung turun dari daratan Fujian seperti gelombang cambuk dingin. Layar jung berkerut dan mengembang bagai paru-paru mahluk laut raksasa ketika angin mengembuskannya.

Aku menatap geladak tempat Ah-Nio duduk melutut, mengerut bagai seekor kura-kura. Ia kusamarkan sebagai seorang anak laki-laki. Rambutnya kupotong pendek, sedikit dikuncir. Di bagian delapan sengaja diacak, kemudian dibungkus dengan penutup kepala. Memang, baju abu-abu yang kuberikan kepadanya masih terlihat kebesaran. Namun, paling tidak, siapa pun pasti mengira ia hanya bocah laki-laki kurus yang ketakutan.

Membawa seorang perempuan dalam perjalanan jauh, menyeberangi samudra untuk pergi ke sebuah tempat yang tak tahu rimbanya bukanlah sebuah perkara remeh. Bila bukan karena perintah sahabat sekaligus pemimpin gerakan Hoā-gī-hōe, jangan harap aku terima permintaan ini. Juga bila Ah-Nio tidak kuanggap sebagai putriku sendiri, lebih baik aku mati tertembus tombak prajurit Qing dibanding harus melarikan diri, meninggalkan tanah Han yang kucintai.

Ajaran Konghucu leluhur sudah menekankan beratnya membawa seorang perempuan ke dalam sebuah perjalanan[3]. Ajaran ini pun dijadikan aturan oleh kerajaan. Sehingga, mau tidak mau, walau bersama rombongan, aku tetap harus menyamarkan Ah-Nio. Apalagi, kami bukanlah rombongan biasa. Darah pemberontak dan jiwa Han sudah terlalu melekat erat di tubuh kami. Orang-orang Qing akan mudah mengendusnya bila aku terlalu sembrono.

Namun, aku lumayan beruntung saat ini. Ada arus besar dari Fujian, Guandong, dimana para keluarga pedagang berangkat sekaligus. Gelombang ini mungkin seperti apa yang di dalam benak Ah-Hia Wan Sui, bahwasanya perjuangan tetap akan dilakukan, tetapi tidak harus berada di tanah Han. Melanjutkan kehidupan itu sendiri adalah sebuah perjuangan. Itu sebabnya, sedikit banyak, aku dapat melihat beberapa orang perempuan yang ikut di atas geladak jung ini.

“Apakah kau sudah siap, Ah-Ti?” tanya Tàu-seng, salah satu dari lima orang kepercayaan Ah-Hia Wan Sui.

Walau mereka bukan saudara kandungku, tetapi di Hoā-gī-hōe, sumpah dan perjuangan lebih kental dan erat dibandingkan darah.

Aku mengangguk. empat orang saudara seperjuanganku berdiri di dekat Ah-Nio. Perjalanan kami memang panjang, tetapi bersama mereka, aku yakin, takdir akan membawa kami ke tempat yang seharusnya.

Sama seperti jawaban semua orang yang hendak pergi ke Nanyang, aku mengatakan hendak pergi ke Melaka kepada sang nakhoda kapal. Saat itu pula, kapal-kapal perang Qing Manchu masih berkeliaran di lautan yang ramai.

“Kalau terpaksa berperang di atas geladak kapal dan mati, aku tidak akan menyesal, Ah-Ti,” ujar Tàu-seng kepadaku.

Aku tersenyum. “Mereka tidak akan mencegat kapal kita. Pedagang Cina yang ke Nanyang sudah semakin banyak dari waktu ke waktu. Kekaisaran Qing paham bahwa ini menggerakkan keuangan negara. Lagipula, kalau kau mati, Ah-Hia Tàu-seng, bagaimana denganku, bagaimana dengan Ah-Nio kecil? Ah-Hia mau bertanggung jawab di akhirat kelak?” ujarku.

Tàu-seng terpaksa menahan amarah dan semangatnya. Ia tahu, suka tak suka, bahwa kata-kataku benar adanya.

Maka, dermaga Xiamen pun kami sungguh tinggalkan. Pemandangan tanah kelahiranku itu semakin mengecil, menggelap, dan sungguh-sungguh hilang dari penglihatan. Kamu berdiri di atas geladak dengan perasaan campur aduk. Namun, keberanian tak bisa lagi dikendurkan. Keberanian adalah apa yang membuat kami masih merasa memiliki jati diri.

Begitu menginggalkan Xiamen dan Penghu beberapa hari kemudian, ombak menjadi kencang dan ganas. Geladak berguncang. Ah-Nio, gadis delapan tahun yang sudah harus menerima kenyataan terpisah dari A-Pa dan keluarganya itu memuntahkan isi perutnya ke dalam ember, lagi dan lagi.

Lihat selengkapnya