“Assalamualaikum, Ustazah.” Para santri mengucapkan salam begitu berpapasan dengan Asma. Setelah menjadi istri Aiman, ia mengabdi sebagai guru di sini.
Para santri sudah melewati kini pandangan Asma beralih menyelidiki pada dua orang yang sedang bicara dari kejauhan. Itu Aiman dengan seorang guru perempuan. Seketika rasa cemburu mendidih dalam dada, melihat bagaimana keduanya bicara sangat serius. Asma terus curi lihat pada keduanya bertanya tanya dalam hati mungkinkah dia perempuannya?
Asma mengingat hari dimana Aiman meminta izinnya.
*
Aiman masih menunduk sebelum menyampaikan isi hati. “Ning, aku berniat meminang perempuan lain.” Setelah mengatakan itu barulah wajahnya terangkat menatap dalam pada Asma.
“Inalilah. Apa yang menjadi kekurangan ku, Gus? Sampai engkau berniat menikah lagi. Jika ada kekurangan atau sikap yang tidak dirimu suka, katakan padaku. Jangan memutuskan mencari pendamping lain.”
“Tidak ada kekurangan dalam dirimu, kamu perempuan sempurna yang Allah dijodohkan denganku.”
“Indah kata-katamu, Gus. Lalu mengapa niatmu begitu menyakitkan didengar.” Air mata Asma terjatuh.
“Hati itu datang sebelum aku mengenalmu, Ning. Perasaan itu hadir jauh sebelum kita bertemu.”
Asma tidak percaya ini. “Apa ini penyebab, engkau tidak menyentuhku awal pernikahan dulu?” kini Asma tahu mengapa Aiman dulu tidak menyentuhnya.
“Bukan, aku hanya tidak ingin zalim, menyentuhmu tanpa rasa cinta,” jawab Aiman.
“Iya, karena hatimu sudah dimiliki gadis lain, begitu?”
Aiman diam mendengar pernyataan istrinya.
“Alasan apa yang mendasari niatmu itu? Apa perempuan itu meminta untuk dinikahi?” tak ada lagi senyuman dalam bibir perempuan solehah itu. Kecewanya nampak jelas sampai tidak ingin melihat Aiman. “Dia sudah tahu niatmu ini? Kalian sering bertemu?” akhirnya tuduhan yang terlontar dari kata-katanya.
“Engkau tahu agama, dia pun begitu, pantaskah kalian merencanakan ini dibelakangku.” Kini Asma benar-benar menunjukan kecewanya, mengapa harus sampai pernikahan jika Aiman menyukai perempuan lain, mengapa tidak sedari awal semuanya ditolak.
“Tidak ada yang tau niatku selai dirimu, Ning. Bahkan perempuan itu belum tahu jika kau berencana melamarnya. Semata aku sangat menghargaimu sebagai istri.” Jujur Aiman dengan tatapan sendunya. Ia pun tidak mudah akhirnya memutuskan mengatakan ini, setiap saat ia melihat rumah Fatihah dadanya semakin teriris, cahaya perempuan itu meredup seiring bertubi-tubi cobaan yang menderanya.
Tapi sepertinya Asma tidak percaya kejujuran itu. “Maaf, Gus. Tapi aku tidak percaya, kalian tidak saling bertemu.”
Hembusan halus napas Aiman terdengar pasrah. “Aku tidak menghianati pernikahan ini, Ning.” Aiman memang mencintai Fatihah tapi dirinya tidak berniat membohongi siapapun. “Aku ingin ada seseorang yang menjaganya. Jika dari awal aku bohong untuk apa aku menikahimu.”