Perempuan Berniqab Hitam 2

Nila Kresna
Chapter #2

Ikhlas Melayani

Ia menatap pantulan dirinya sendiri dalam cermin merasa wajahnya kurang cantik, kulitnya kurang bersih, terus melihat setiap garis kerutan halus yang sudah mulai terlihat. Saat menyugar rambut terlihat ada tahi lalat kecil di pelipis kiri dekat matanya.

Pikirannya kembali menerawang mungkinah rambutnya terlihat membosankan untuk dipandang. Asma kembali menyugar rambut, berharap menemukan sisi dimana Aiman menyukai dirinya. Gerakannya terhenti saat mendengar pintu dibuka.

Semakin hari kepercayaan dirinya semakin menghilang, saat melihat Aiman rasanya suaminya itu tidak berminat melihatnya.

Asma langsung duduk di tepian ranjang, diikuti Aiman juga perlahan duduk di sisinya. Merasakan gerakan Aiman, Asma sedikit bergeser. Gerakan itu membuat Aiman menoleh.

“Kenapa, Ning? Tidak mau aku dekati?” kekacauan saat ini buah dari keinginan Aiman waktu itu.

“Takut kamu tidak berkenan, Gus,” jawabnya penuh kerendahan.

“Kamu istriku, Ning. Mana mungkin aku tidak berkenan. Aku tidak menyentuhmu bukan aku tidak mau. Takut rasa kecewamu membuat keikhlasan melayaniku menghilang. Aku takut berdosa, karena aku yang salah,” sesal Aiman.

Setelah mengutarakan niat waktu itu, keduanya memang terlihat seperti baik baik saja didepan kyai dan nyai. Nyatanya keduanya sudah berjarak.

“Aku selalu ikhlas melayanimu, Gus.” Asma masih menunduk tidak berani menatap Aiman.

Dari sana Aiman sangat merasa bersalah menyakiti perempuan ini, ia menarik perlahan Asam lalu memeluknya hangat.

Rasa cinta yang begitu dalam membuat Asma lemah menangis pilu dalam pelukan Aiman. Bagaimanapun dipikiran ia tidak akan pernah sanggup menjalani hidup dengan kenyataan Aiman bersama dengan perempuan lain.

“Allah akan sangat membenciku membuatmu menangis.” Aiman menyeka air mata perempuan yang dinikahinya ini. “Allah menciptakanmu penuh kasih sayang, aku malah menyakitimu.” Ia kembali mendekapnya penuh penyesalan.

Dalam isakan tangis Asam melepas dekapan Aiman. “Gus.” Suaranya terdengar dalam diiringi tetesan air mata seakan apa yang hendak disampaikan sangat menyakitkan.

Aiman tidak tega melihatnya. “Sudah tidak usah dibahas lagi.” Ia kembali menyeka air mata pada pipi Asma.

Asma tetap memberanikan suaranya untuk didengar. “Aku tidak bisa, Gus.” Suara tangisan itu semakin sesak terdengar.

Ternyata, laki-laki tidak akan pernah sadar jika ia telah menyakiti pasangannya. Tidak tahukah Aiman nitanya itu meremukan hati Asma.

“Sutt ... sudah, Ning. Aku minta maaf, atas semua kesalahanku.” Tulus tatapan Aiman saat ini menyesali ucapannya waktu itu.

Kisahnya memang telah selesai disaat Fatihah menerima lamaran itu, sekarang tidak sepatutnya ia menyakiti hati istrinya untuk Fatihah.

“Mulai sekarang lupakan apa yang aku katakan hari itu, Ning.” Tidak ada keraguan dari ucapan itu. Tidak salah jika Asma mengartikan Aiman tidak akan memperpanjang niatnya untuk menikah lagi?

“Maksudmu, Gus?” ingin sangat mempertegas ucapan Aiman barusan.

“Lupakan semuanya.” Aiman membetulkan anakan rambut Asma, menyelipkan ke belakang telinganya. “Kita rajut bersama mahliga ini sampai maut memisahkan.”

Asma kembali menangis mendengar ucapan itu, kali ini yang ada tangisan kebahagiaan. Ternyata, doa juga sabarnya berbuah kebaikan.

Lihat selengkapnya