Sudah di ruangan dokter setelah melewati rangkaian pemeriksaan, Hasnah duduk di samping Utami sedangkan Fatihah berdiri di antara keduanya menunggu diagnosis dokter, pria berkacamata itu masih meneliti dengan serius hasil lab yang diterimanya.
“Semuanya bagus,” ujar sang dokter.
Rasanya kelegaan seketika membanjiri hati Fatihah, bagaimana tidak dari kemarin melihat keadaan Utami membuatnya benar-benar khawatir, berbagai pemikiran seketika datang mengeroyok tanpa ampun. Rasa bersalah tentang dirinya yang masih saja menjadi beban pikiran ibunya mungkin menjadi salah satu penyebab.
Fatihah kembali mendengarkan penerangan dokter tentang Utami. “Gula darah normal, tekanan darah juga, kolesterol tidak ada. Hasil lab darah juga bagus. Semuanya bagus.” Sang dokter kembali melihat Utami. “Ada yang lain keluhan, Bu Utami?” tanya sang dokter masih melihat Utami. Perempuan yang sepertinya hampir sebaya dengan ibunya.
“Tidak ada, Dok. Kemarin sesudah sakit kepala itu, ga ada yang saya rasakan lagi,” tutur Utami.
“Kalo mau lebih jelas kita bisa cek menyeluruh, di bagian kepala. Apalagi kalau sakitnya berulang.” usul sang dokter. “Walaupun dari cek darah semuanya normal.”
“Ga usah, Dok.” Utami langsung menolak.
“Ga papa, Bu, dicek saja.” Fatihah juga ikut mendukung usulan sanga dokter.
“Iya, Mi. Cek semua saja.” Hasnah juga mendukungnya.
“Sudah toh, kalo nanti sakit lagi, baru cek semuanya. Ini sudah cukup, kemarin mungkin kecapean saja.”
“Baiklah, diresepkan vitamin saja ya, Bu. Kalau ada keluhan lebih lanjut kesini lagi.” Dokter itu mulai menulis resep untuk Utami bawa pulang nanti. “Ini ambil di apotik.” Lembar kertas Fatihah terima.
Ketiganya keluar dari ruangan dokter, Fatihah sendiri yang menunggu obat Utami dan Hasnah menunggu di mobil.
*
Kesempatan tidak ada Fatihah, Hasnah kembali mencoba bicara soal yang tadi pada Utami. “Mi, sudah coba bujuk Nur? Bukannya aku terus ikut campur, tapi kasian liat kalian.”
“Aku juga ngerti, Nyi. Umur juga tidak ada yang tahu. Siapa yang bisa aku percaya ninggalin anak-anak.” Seketika suasana sendu. Utami menerawang jauh. Bukan dirinya tidak memikirkan hal itu tapi memaksa Fatihah untuk kembali membuka hatinya sama saja mendorongnya pada jurang yang tidak tahu seberapa dalam perempuan itu akan terjatuh.
“Dia cerita kenapa bisa pisah dengan, Dwi?” tanya Hasnah.
Utami menggeleng. Justru sejak saat itu kepribadian Fatihah berubah, ia menjadi tertutup tidak banyak hal yang diceritakan olehnya kini. Terkadang Utami rindu anak gadisnya dulu yang selalu berceloteh tentang apa saja yang dilaluinya hari itu. Gendis sudah mencoba memancing obrolan namun hasilnya Fatihah hanya menyimpang dengan segaris lengkungan senyum tipisnya.
“Aku juga lancang waktu itu menelpon, bu Mega. Berharap bisa memperbaiki keadaan, tapi beliau juga bungkam terkesan menutupi. Tidak ada penjelasan sama sekali hanya mengatakan merek sekeluarga sehat dan sedang ada urusan jadi telepon diakhiri sebelum aku bertanya lebih jauh.”
Ada helaan napas keduanya sebelum akhirnya Hasnah kembali bicara. “Kita sebagai orang tua harus terus mengingatkan jangan sampai dia terlalu betah dengan kesendirian. Gendis juga sudah mau kuliah, cepat atau lambat akan datang jodohnya. Kalau sudah dilangkah nanti Nur semakin tidak mau berkeluarga.”