Perempuan Berniqab Hitam 2

Nila Kresna
Chapter #4

Mata Yang Berbicara.

Satu minggu kemudian.

Beradu tatap penuh luapan rasa cinta antara pasangan di pagi hari dengan rambut yang sama-sama basah penuh luapan kehangatan seolah-olah mata bicara lebih lantang dari kata-kata. Asam mengeringkan rambutnya masih mengenakan jubah mandi di depan meja rias sedangkan Aiman sedang mengancingkan kemejanya, tersenyum tipis menatap istrinya.

Pantaskah saat itu dirinya mengutarakan niat yang sangat begitu melukai hati Asam, sedangkan dengan kelapangan hati perempuan itu memaafkan meski luka goresan itu telah membekas.

Asma berdiri membenarkan kerah kemeja Aiman. “Mas tidak ikut jemput sebenarnya tidak apa-apa, bisa sama Usman. Aku ga enak, ini bukan keperluan pesantren.”

Aiman membelai tangan lembut itu lalu dibawanya untuk dikecup. Sungguh semakin hari perlakukan Aiman semakin membuat Asma mabuk kepayang, suaminya ini sudah benar-benar dicintainya.

“Tidak apa-apa. Tadi apa? Mas? Biasanya panggil, Gus?” Aiman tersenyum melihat perempuan didepannya ini tersenyum malu lalu menunduk.

“Tidak bolehkah aku sedikit mesra memanggilmu, ini juga di kamar tidak ada yang mendengar.” Asma masih menunduk malu.

“Suaramu indah untuk didengar, terlebih dengan panggilan itu, aku akan sangat cemburu kalau ada yang mendengar suara panggilanmu itu.”

“Kamu pandai merayu, aku hanya memanggilmu mas, seperti perempuan Jawa lainnya.” Asma menyipitkan matanya melihat Aiman.

“Rasanya berbeda, Asma. Kamu sedang seperti menggodaku.” Aiman membawa Asma dalam dekapannya.

Asma tertawa kecil. “Apanya yang menggoda.” Tanganya yang terus bergerak ditahan Aiman. Keduanya kembali saling bertatapan dalam penuh kasih dengan senyum ketulusan.

“Ayo, kita bersiap,” ajak Asma, mengingat dirinya belum berpakaian.

“Iya, betul, ayo bersiap.” Aiman segera membuang apapun itu isi kepalanya dan segala pikiran yang ternyata tertangkap oleh Asma. Asma kembali tertawa kecil seraya membiarkan suaminya itu keluar dari kamar.

*

Sehebat apapun perasaan yang Aiman tunjukan pagi ini, Asma tetap cemburu pada lirikan hangat suaminya pada rumah Fatihah. Entah tepatnya kapan Asma mulai curi pandang saat Aiman melewati rumah itu. Entah mengapa rasanya ngilu setiap kali Aiman menggerakan bola matanya pada rumah itu.

“Kalau nanti sudah di rumah Abah, mas ke pesantren lagi gapapa,” Ia mengalihkan perhatian Aiman agar kembali pada dirinya. “Mau ajaran baru, masih sibuk-sibuknya, kan?”

Aiman mengangguk.

“Takut juga Salma ga nyaman ada, Mas.”

Aiman kembali mengangguk, tugasnya hanya menjemput ke bandara lalu diantarkan ke rumah Asma. Selama disini Salma akan menginap di rumah Asma. Teman semasa kuliah yang tinggal di Jakarta, kunjungannya kali ini karena ada pekerjaan di Solo karena itu Asma mengajak untuk tinggal di rumahnya.

Tidak lama menunggu di bandara Salma keluar langsung melambaikan tangan penuh ceria pada sahabatnya itu. Asma berlari kecil menyambutnya.

“Alhamdulilah, akhirnya sampai juga di Solo.” Goda Asma dengan tatapan menyipit.

“Jam berapa penerbangan berikutnya, ya?” Salma berpura-pura melihat jam tanganya. “Takut terus dimarahi.” Balas lagi menggoda diiringi tawa.

“Iya, aku mengundang kamu tidak datang, saat menikah hanya sebentar seperti tamu.” Asma masih cemberut kejadian waktu itu Salma hanya datang pagi sebelum ijab lalu siangnya kembali ke Jakarta.

“Aku sudah ceritakan bagaimana bosku.” Keduanya berjalan beriringan mendekati Aiman.

Lihat selengkapnya