Perempuan Berniqab Hitam 2

Nila Kresna
Chapter #5

Aiman Ingin menjadi Semesta Untuk Fatihah.

“Gus, Bu Utami wafat.” Pesan yang baru saja masuk dalam ponsel Aiman. Ia segera menepikan kendaraan begitu pesan itu terbaca.

“Kami kembali ke rumah sekarang.” Pesan kedua masuk dari salah satu ustad yang mengajar tadi dia sudah diwanti-wanti Aiman untuk selalu memberi kabar dan yang ditakutkan pun terjadi.

Aiman memutar mobilnya kembali ke arah pesantren, tadinya ia akan ke rumah sakit. Tadi saat Umanya menelpon sudah terdengar panik, mengatakan jika ibu Utami kesulitan bernapas.

Sampai di depan jalan pesantren, sudah ada bendera kuning juga tanda jalan ditutup, rumah bu Utami sudah dipenuhi warga untuk melayat, kursi-kursi plastik sudah di tata di jalan.

Aiman turun dari mobil berjalan perlahan mendekati rumah itu.

Semua orang terlihat bersedih, Aiman semakin mendekat arah pintu. Para pelayat yang melihat kedatangan Aiman perlahan memberi jalan mempersilahkan Aiman untuk masuk kedalam rumah. Disana tangis kesedihan terlihat dari dua orang perempuan sambil memandang jenazah sang ibu.

Menyadari betapa besar rasa kehilangan yang dirasakan oleh perempuan yang dicintainya, rasanya, ia ingin berada di sana sebagai dukungan emosional. Ketika kekhawatiran tentang bagaimana perempuan yang dicintainya akan menghadapi kehilangan ini, rasanya ingin sekali bertanggung jawab untuk menjadi sumber kekuatan baginya.

Didengarnya suara tangisan Gendis dalam rangkulan Fatihah serta bagaimana perempuan itu juga menangis pilu menatap wajah sang ibu yang telah terbujur kaku. Perasaan ingin bertanggung jawab itu semakin luas hingga sampailah pemikirannya akan segera mengutarakan niat pada perempuan itu apapun yang terjadi.

Tangisan pilu kedua perempuan itu membuat dirinya ingin menjadi peneduh keduanya. Setiap langkah yang diambil Aiman untuk masuk kedalam rumah itu menjadi sebuah sumpah juga janji akan menaungi keduanya.

Aiman duduk dibelakang Fatihah dan Gendis lalu merangkul keduanya mengusap kepala mereka layaknya seorang ayah yang menenangkan. Perlakukan itu semakin membuat keduanya menangis pilu.

*

Pagi harinya.

Pagi itu seperti biasa bu Utami bangun lebih awal, suara lembut adzan subuh memanggil dari masjid dekat rumah.

“Ibu sholat dirumah saja, Ndis. Kakinya lemas buat jalan.” Utami memijat-mijat perlahan betisnya sambil duduk.

“Iya, bu.” Gendis mendekat memijat sesaat kaki ibunya. “Masih ga enak badannya?” Anak perempuan itu mengamati ibunya dari hari ke hari rasanya kini bentuk badan ibunya terlihat menyusut selain terlihat kurusan, dan telinganya terlihat layu.

“Ga papa, sana berangkat,” perintah sang ibu.

“Iya, bu. Mbak, Gendis ke mesjid,” pamitnya pafa Fatihah.

Semenjak menjadi janda Fatihah sudah tidak perna lagi sholat di masjid ia memfokuskan semua ibadah di rumah.

“Iya, hati-hati.” Selepas wudu Fatihah mendekati Utami untuk membantunya berdiri memapah ke dapur untuk wudhu.

“Ibu sholat di kamar.” Dengan perlahan, ia melangkah ke dalam kamar membentangkan sajadah di sudut, tempat favorit dirinya dan almarhum semasa hidup saat sholat malam.

Dengan penuh khusyuk melafalkan doa, usai salam terakhir ia mengangkat kedua tangannya, berdoa dalam bisikan yang lirih tapi penuh makna. Ia meminta perlindungan dan kebaikan untuk anka-ankanya, agar mereka selalu dalam perlindungan semesat. Ada senyum kecil di wajahnya, seolah ia tengah berbicara langsung dengan sang Pencipta.

Suara pintu dibuka, Fatihah juga telah selesai beribadah. “Dibuatkan teh, Bu?” tanyanya setelah melihat sang ibu selesai dari panjatan doa.

“Tidak usah, ibu ingin baringan lagi.” Ia mulai melipat sajadah dibantu Fatihah memegang ingin duduk di ranjang kembali.

Lihat selengkapnya