Suara lantunan doa mengalun pelan, bercampur dengan isak tangis yang tertahan, tidak menyangka dengan kepergian yang mendadak. Angin bertiup lembut, membawa aroma bunga tabur yang sudah disiapkan di tepi makam. Beberapa orang berdiri diam, menatap tanah merah yang perlahan menutupi jenazah.
Diantara mereka yang ikut menumpahkan gundukan tanah ada seorang pria dengan kemeja putih yang kini ternoda tanah. Wajahnya terus tertunduk, memperlihatkan kesedihan mendalam. Dari sini terlihat Aiman berlaku sebagai anak lelaki Utami. Dari awal prosesi pemakaman sampai saat ini.
Tanah merah sudah sepenuhnya tertutup menyisakan nisan kayu bertuliskan nama almarhumah, tanggal lahir, kemudian tanggal wafatnya. Satu demi satu warga menjauh memberi ruang untuk pihak keluarga melabuhkan rasa untuk terakhir kalinya.
Kesedihan kembali menusuk. Fatihah memegangi nisan sang ibu yang makamnya berdampingan dengan sang ayah. “Ibu.” panggilnya lara, lalu tatapannya beralih pada makan sang ayah. “Ibu, bahagia bertemu, Abah? Aku berat melepas, Ibu, Bu. Tapi, aku tau ibu bahagia sekarang. ” Suara itu menyedihkan bagi siapapun yang mendengar, belum rela ditinggalkan namun ikhlas karena pertemuan kedua orang tuanya.
Fatihah kembali menangis pilu meski sudah diingatkan untuk tidak meratapi namun hatinya benar-benar hancur. Nyai Hasnah yang ada diantara kedua anak itu tidak pernah henti memberikan perhatian dengan membelai pundak keduanya memberi kekuatan secara emosional.
Doa, Aiman lantunkan dekat dengan Fatihah, tangannya terangkat diikuti Fatihah. Pertanda selesai sudah seluruh rangkaian pemakaman. Setiap doa yang Aiman ucapkan, diiringi suara ammin pelan perempuan itu. Sesaat ia melihat puncak kepala berkerudung perempuan itu, rasa ibanya menusuk dalam dada.
“Kita pulang.” Tangannya hendak tergerak membantu Fatihah berdiri namun perempuan itu dengan sopan menolaknya.
“Sebentar lagi, Gus. Tinggalkan saja saya sendiri, tidak apa-apa.”
“Saya tunggu.” Aiman langsung menolak keinginan itu, ia mundur lagi satu langkah. Tadi, tangannya hampir saja lancang merengkuh raga ringkih itu.
Aiman menunggu kedua perempuan itu benar-benar sudah siap meninggalkan makam, meski terik mulai menyongsong. Sadar matahari semakin terik ia memanggil salah satu santri dengan lambaian tangan nya.
Santri itu segera mendekat. “Iya, Gus?”
“Carikan pinjaman payung pada warga,” kata Aiman.
“Njeh, Gus.” Santri itu langsung permisi setelah menerima permintaan Aiman. Tidak lama ia kembali dengan sebuah payung hitam.
Aiman berdiri membentangkan payung itu di belakang Fatihah, Gendis juga ibunya. Meski tidak sepenuhnya memberikan kesejukan pada ketiganya paling tidak Aiman mencoba bertanggung jawab pada ketiganya.
Sampai beberapa saat, akhirnya Fatihah mulai mengajak Gendis pulang. “Kita pulang.” Ajaknya seraya merangkul.
Gendis menggeleng, ia masih terus mengusap tanah seakan itu tubuh ibunya dengan tumpah air mata. Jika bisa ingin terus ada di sini.
“Tidak boleh meratap, kasihan ibumu.” Nyai Hasnah yang terus mengingatkan.
“Kita pulang, ya.” Lagi Fatihah mengajak adiknya seraya memapah untuk berdiri.