Yang paling patah hati disini adalah Asma sedikitpun ia tidak melihat Aiman sampai membuka pintu lalu duduk di tepian ranjang. Aiman menutup pintu ikut masuk lalu melihat Asma yang duduk menyamping tidak ingin melihat dirinya.
Perlahan Aiman masuk mendekat, sama seperti pada kedua orang tuanya tadi, ia berlutut dengan wajah tertunduk, ia benar-benar meminta ridho semua orang yang disayangi tanpa ingin menyakiti.
Asma melihat tundukan kepala Aiman. “Apa harus seperti ini, Gus?” suaranya dingin, seperti sudah menyerah pada keadaan. “Mengapa kamu harus datang? Jika tidak menginginkan. Apa aku harus menyalahkan nasib yang Allah berikan, bisakah kali ini aku meminta pada suamiku untuk menggugurkan niatnya?” Terlanjur rasanya ia mencintai Aiman dalam, tidak bisa kini jika harus melepaskannya.
“Maafkan, saya, Ning.” Aiman sedikit maju memegang kedua tangan Asma. “Berdosa saya membuat kamu menahan sakit hati.” Aiman bisa merasakan bagaimana hati Asma kini bergemuruh, terlihat bagaimana tangan perempuan itu bergetar juga tetesan air matanya.
“Kalian berdua sama-sama berarti bagiku, izinkan aku untuk menjaga kalian.” Meletakan keningnya pada tangan Asma, berharap dengan semua permohonannya Asma akan mengijinkan untuk menikahi Fatihah.
“Tidak adakah cara lain, Gus? Aku bersedia menjadi kakak sambungnya, agar hidupnya lebih baik, jangan seperti ini.” bujuk Asma.
Aiman langsung menggeleng.
Asma melanjutkan ucapan setelah penolakan Aiman barusan. “Kamu pakai niat baikmu yang sesungguhnya hanya untuk nafsu semata, ingat, Gus! Rasulullah menikah kembali setelah Siti Khadijah wafat. Bahkan selama mereka berumah tangga Rasulullah tidak pernah menyakiti sekalipun, apalagi berniat menikahi perempuan lain. Jangan karena sunnah kamu jadikan sebagai alasan!” Asma melepaskan genggaman Aiman penuh kebencian. Selama ini ia terus mencoba melembutkan hati Aiman, nyatanya pria itu tetap teguh pada keinginannya.
“Aku tanyakan sekali lagi, bagaimana jika aku tidak setuju?” mungkin ini adalah pertanyaan terakhir Asma untuk Aiman. Jika pria itu masih kuat dengan niatnya ia lah yang akan mundur.
“Benci aku seumur hidupmu, Ning. Tapi aku akan tetap mencintai kalian bersamaan, aku akan melakukan yang terbaik untuk kalian,” jawab Aiman.
“Mm ... terlalu puitis kamu, Gus. Tau, tidak? Tidak akan pernah ada sikap dan perasaan adil dari hati yang terbagi.” Asma menunjuk Aiman tajam. “Itu hanya alasanmu saja untuk memiliki kami. Seharusnya kamu jangan menerima perjodohan ini! Seharusnya kamu memperjuangkan cintamu padanya, bukan lari padaku! Kenapa? Karena rumah tangganya berantakan, lantas sekarang datang padamu dengan dalil tidak mencintai suaminya, lalu ikhlas dimadu? Mm … Licik kalian!” tuduh Asma pada Fatihah secara tidak langsung.
“Jangan salah paham, Ning. Dia bukan perempuan seperti itu.” Aiman mencoba menenangkan hati Asma agar semua pikiran buruknya menghilang.