Selepas kepergian Utami, Kyai Umar masuk ke dalam kamar. "Bagaimana, Umma? Tanggapan ibunda, Nur?" Kyai Umar meletakan sorban di atas nakas samping ranjang lantas ikut duduk setengah merebah di samping Nyai Hasnah.
Istrinya semakin melekat menyandarkan dagunya pada pundak Kyai. "Alhamdulilah, Baa. Utami menerima niat baik kita, tinggal nunggu keputusan, Nur. Katanya akan segera disampaikan Utami."
"Alhamdulillah, tinggal Aiman. Besok Aba sampaikan niat kita tentang perjodohannya."
"Baa, bukannya Umma ga setuju. Apa nda sebaiknya Aiman mencari sendiri, dia itu laki-laki, Baa. Mana tau sudah punya calon sendiri."
"Lebih baik kita sebagai orang tua yang mengarahkan, apa lagi kalo calon Aiman bukan dari pesantren, kita butuh penerus yang mengerti tata rama pesantren."
"Nggih, Baa. Asmanya sudah siap dipertemukan dengan, Aiman?"
"Minggu ini kita datang ke rumahnya sekalian bertanya lamaran."
"Loh ... loh, apa ga kecepetan kita belum bicara sama Aiman nanti dia kaget, tau-tau sudah tanya lamarkan calon." Nyai Hasnah sampai terduduk dari pembaringan sangking tidak menyangka akan secepat ini Kyai Umar mentaarufkan Aiman.
"Niat baik lebih cepat dilaksanakan, jauh lebih bagus. Besok setelah urusan Nur selesai kita langsung bicarakan dengan Aiman soal perkenalannya."
Mendengar keputusan suaminya Hasnah hanya mengangguk lantas kembali berbaring bersiap untuk tidur. Sedangkan di kediaman Utami ibu Fatihah saat ini sedang bicara dengan kedua anak gadisnya.
"Aku tidak setuju loh, Bu. Kalo Mbak, Nur, dijodohkan." Gendis yang lebih dulu mengeluarkan komentar tentang perjodohan kakaknya. Sedangkan Fatihah hanya menunduk mendengarkan permintaan Nyai dan Kyai lewat ibunya.
"Ibu juga tidak berani membuat keputusan, kalau mbak mu menolak, ya ibu akan sampaikan baik-baik ke nyai dan kyai."
"Bagus itu, Bu. Mbak Nur ga mau kan dijodohkan?" Gendis beralih pada Fatihah yang masih terdiam.
"Nyai juga setuju, bu, sama laki-laki itu?" tanya Fatihah, sesaat tidak menggubris pertanyaan adiknya.
Utami mengangguk. Berarti semua sudah sangat dipikirkan dengan sangat matang.
"Kalo menurut, Ibu?" tanya Fatihah lagi. Sepertinya ia ragu akan perjodohan ini.
"Ibu selalu mendukung pilihanmu, nduk."
"Segan rasanya, Bu, menolak apa yang sudah Kyai pikirkan masak-masak. Beliau pasti mempertimbangkan kebaikan, Nur."
"Coba dibawa solat, Nur. Minta sama gusti Alloh jalan yang paling baik, kalo memang cah lanang itu jodohmu minta semakin didekatkan minta juga agar hatimu ikhlas menerima."
Fatihah mengangguk kecil mendengarkan usulan ibunya. Di sepertiga malam ia shalat meminta keteguhan hati atas perjodohan ini, setelahnya suara merdunya mengalun membaca Al-Qur'an sampai menjelang waktu subuh.