Sedang di balik layar komputer Fatihah melihat Aiman yang celingukan di depan etalase toko. “Cari apa, Gus?”
“Cari kamu, aku mau keluar ada yang mau dititip, ga?”
“Nda ada, Gus.”
Dari jawaban itu Aiman melihat sendu pada tatapan Fatihah. “Ada apa?”
“Nda ada, kenapa emang?” Fatihah mendekat arah etalase dimana Aiman ada.
“Mata kamu ga bisa bongong, Fatihah," kata Aiman serius melihat wanita itu.
Fatihah sedikit tertawa kecil. "Memangnya kita sedekat itu sampe kamu tahu kepribadianku? Mm ... bisa aja.”
“Yaa, enda, biasanya mata kamu itu ceria penuh energi. Sekarang layu kaya ada yang berat, dibicarakan kalo ada masalah."
Sesaat Fatihah diam ragu untuk mengatakan. Tidak lama suara kecilnya terdengar lagi. "Kyai, hendak mengenalkan calon padaku, Gus.”
Tertegun sesaat atas apa yang Fatihah sampaikan, Aiman kembali menata suaranya agar tidak terdengar emosional. “Kamu setuju?”
Fatihah menggeleng. “Aku meminta waktu."
“Kalau kamu tidak bersedia, aku akan bicara dengan Aba dan Umma,”
“Jangan, Gus. Aku minta waktu untuk berpikir bukan menolak.”
“Berarti kamu menerima?” Terasa suara Aiman begitu sendu, “siapa anak itu, anak pesantren kah?”
Fatihah menggeleng lagi dengan kepala menunduk dari tadi. “Bukan, dia anak kota, anak teman, Kyai. Kata ibu teman kamu ko, dulu pernah juga sekolah disini, satu kamar sama kamu, katanya.”
“Dwi?” Hanya itu satu-satunya santri yang pernah sekamar dengan dirinya saat remaja dulu.
“Aku belum tau namanya, Gus.”
Aiman masih terdiam mengingat siapa itu Dwi Tiyas Haryono. Anak yang sekamar dengannya, hidupnya sudah terlanjur mencintai dunia sampai saat itu banyak masalah yang ditimbulkan di pesantren. Satu lagi yang tidak diketahui kedua orang tuanya, jika Dwi dulu pernah mengajarkan Aiman untuk merokok, entah bagaimana kabarnya saat ini.
“Gus ....”
Suara merdu lagi sendu itu menyadarkan Aiman dari lamuna akan kenakalan Dwi dulu, apa mungkin itu hanyalah kenakalan masa remaja. Mungkin saja saat ini anak remaja itu telah berubah dan lebih menjadi ahli ibadah?
“Iya ...” sahut Aiman.