Sedang di balik layar komputer Fatihah melihat Aiman yang celingukan di depan etalase toko. “Cari apa, Gus?” tanya Fatihah.
“Cari kamu, aku mau keluar ada yang mau dititip, ga?” jika Aiman ada perjanjian ke kota apa ke Jakarta tidak pernah lupa untuk bertanya mau dibawakan apa pada Fatihah.
“Nda ada, Gus, terima kasih," jawab Fatihah dengan sedikit senyuman.
Dari jawaban itu Aiman melihat sendu pada tatapannya. “Ada apa?” tanyanya. Ia adalah seorang pertapa yang akan selalu membantu segala kesulitan Fatihah.
“Nda ada, kenapa emang?” Fatihah mendekat arah etalase dimana Aiman ada.
“Mata kamu ga bisa bongong, Fatihah," kata Aiman serius melihat perempuan itu.
Fatihah sedikit tertawa kecil. "Memangnya kita sedekat itu sampe kamu tahu kepribadianku? Mm ... bisa aja.”
“Yaa, enda, biasanya mata kamu itu ceria penuh energi. Sekarang layu kaya ada yang dibicarakan, cerita kalo ada masalah." Menyenderkan lenganya di etalase toko seakan siap mendengar kan keluh kesah perempuan itu.
Sesaat Fatihah diam ragu untuk mengatakan. Tidak lama suara kecilnya terdengar lagi. "Kyai, hendak mengenalkan calon padaku, Gus.”
Tertegun sesaat atas apa yang Fatihah sampaikan, Aiman kembali menata suaranya agar tidak terdengar emosional. “Kamu setuju?” tanyanya langsung. Untungnya Fatihah perempuan polos yang tidak mengerti maksud pertanyaan seorang pria.
Fatihah menggeleng. “Aku meminta waktu."
“Kalau kamu tidak bersedia, aku akan bicara dengan Aba dan Umma." Aiman siap pasang badan untuk menentang permintaan kedua orang tuanya.
“Jangan, Gus. Aku minta waktu untuk berpikir bukan menolak," ralat Fatihah malah ketakutan Aiman akan bicara salah di depan Kyai.
“Berarti kamu menerima?” Terasa suara Aiman begitu sendu, “siapa anak itu, anak pesantren kah?” lanjutkan bertanya.
Fatihah menggeleng lagi dengan kepala menunduk sedari tadi. “Bukan, dia anak kota, anak teman, Kyai. Kata ibu teman kamu ko, dulu pernah juga sekolah disini, satu kamar sama kamu, katanya," jelas Fatihah.
“Dwi?” Hanya itu satu-satunya santri yang pernah sekamar dengan dirinya saat remaja dulu.
“Aku belum tau namanya," kata Fatihah.
Aiman masih terdiam mengingat siapa itu Dwi Tiyas Haryono. Anak yang sekamar dengannya, hidupnya sudah terlanjur mencintai dunia sampai saat itu banyak masalah yang ditimbulkan di pesantren. Satu lagi yang tidak diketahui kedua orang tuanya, jika Dwi dulu pernah mengajarkan Aiman untuk merokok juga hal-hal yang tidak baik lainnya.
“Gus ....” panggil Fatihah.
Suara merdu lagi sendu itu menyadarkan Aiman dari lamuna akan kenakalan Dwi dulu, apa mungkin itu hanyalah kenakalan masa remaja? Mungkin kah saat ini anak remaja itu telah berubah dan lebih menjadi ahli ibadah?