“Nggih, Kyai.” Fatihah menunduk patuh, ia sangat berterimakasih pada Kyai Umar sudah memberikan sekolah layak bagi dirinya dan Gendis. Gendis juga sudah dipersiapkan beasiswa untuk perguruan tinggi, sedangkan dirinya memilih hanya stop di pesantren untuk mengabdi sepenuhnya juga menjaga ibu.
“Bismillahirohmanirohim, Nur, menerima lamaran ini, Kyai, Nyai.”
Mendengar itu Nyai Hasnah langsung bersorak. “Alhamdulillah...” kemudian ia memeluk Utami. “Anak kita wes pada dewasa, Mi, sudah bisa mengambil keputusan yang baik.”
“Iya, alhamdulillah.” Utami melihat Fatihah sendu, ia tau anak gadisnya hanya menurut pada kehendak Kyai.
“Ya, sudah, nanti kita pertemuan besar dengan keluarga Tiyas juga anak lelakinya, agar dipertemukan dengan, Nur.” Kata Kyai yang juga tersenyum puas. Ia, yakin Dwi adalah pria yang sangat cocok untuk, Fatihah. Fatihah, pasti akan bahagia dengan anak lelaki itu juga bisa mengangkat derajat keluarga sahabatnya itu.
Setelah keluar dari rumah Kyai berjalan menjauh, Utami langsung bertanya pada anaknya, “Piye toh, Nduk. Ibu ko ngga dikasih kabar duluan kamu nerima perjodohan ini?”
“Maaf bu, bukannya ga mau ngasih tau ibu dulu. Tapi emang barusan aja, Nur, putusin untuk menerima lamaran itu.”
“Nopo? Nda enak sama, Kyai?” Utami berhenti sejenak dari langkahnya lantas melihat sedih pada anaknya. Air matanya nyaris terjatuh, ditambah ternyata Fatihah sudah memendam tangisannya sejak tadi. “ya Allah ...” Utami langsung memeluk anak gadisnya merasa gagal jadi seorang ibu. Menyerahkan hidup putrinya pada keadaan dan rasa balas budi pada orang lain itu sangat menyakitkan kita terasa tidak bisa memiliki sikap sendiri.
Sesaat isakan air mata itu menemani keduanya sampai akhirnya Fatihah sadar tidak ingin membuat ibunya sedih. “Ibu jangan khawatir, insyaallah pilihan Kyai dan Nyai tidak keliru.”
“Masalahnya kamu iki loh? Kamu ada calon nda atau yang disuka?” Utami mengelus punggung Fatihah.
Anak gadis itu menggeleng. “Insyaallah bu, kalau semuanya lancar berarti sudah atas seijin gusti Alloh, jodoh Fatihah memang beliau, lewat Kyai.”
Utami mengangguk dengan seutas senyuman. “Ya sudah, ibu dukung. Besok kita ke makam abahmu untuk mengabarkan kabar baik ini.”
Fatihah mengangguk, keduanya kembai berjalan menuju rumah.
***
Keesokan malamnya setelah shalat isya, Kyai Umar dengan Nyai Hasna sedang duduk santai menikmati teh di taman belakang rumah. Aiman membawa satu buku tidak jelas hanya untuk alasan mencari tempat yang nyaman untuk membaca.