Jakarta 21;00
Melihat ponsel yang terus berdering Dwi hanya menimbang untuk mengangkat atau tidak, jika diangkat ia harus pulang jika tidak diangkat sudah sejak tadi ponsel itu terus berdering. Tertera nama ibunya disana, berarti penting.
“Aku angkat telpon dulu.” Dengan jengkel ia menjauh dari teman-temannya yang sedang ada di sebuah kafe.
“Halo,” sapanya tanpa ucapan salam apa lagi basa basi antara anak dan ibu.
“Kamu dari mana saja? Ibu dari tadi telpon!” Wanita paruh baya itu juga ternyata sudah jengkel dengan kebiasaan putranya yang enggan menerima telepon dari keluarga.
“Dikamar mandi, Bu. Kenapa?”
“Pulang dulu, ibu tunggu sekarang, ada yang mau dibicarakan!”
“Aku, ga bisa, Bu. Lagi sama teman ada kerjaan juga.”
“Cuma sebentar, Dwi! Ibu tunggu sekarang!”
Panggilan berakhir Dwi kembali berjalan mendekati meja seraya tersenyum pada wanita yang sejak tadi terus memperhatikannya.
“Aku harus balik duluan.” Ia membelai kepala wanita itu lantas mencium tipis pipinya dihadapan semua orang.
“Kemana sih masih sore?” Kata salah satu temannya.
“Ada urusan, besok malam ketemu tempat biasa. Kamu juga ikut."
Wanita itu mengangguk lantas melepaskan kepergian Dwi, "Hati-hati," katanya.
Dwi meninggalkan meja teman-temannya, mengendarai mobil putih melewati tol dalam kota menuju rumah mewah kedua orang tuanya.
Begitu sampai rumah, asisten rumah tangga sudah bersiap meraih jasnya. “Nyonya dan Tuan di ruang keluarga, Den.”
Tidak membalas sapaan asisten rumah tangga, ia segera masuk dalam ruang keluarga diman ibunya sedang duduk di sofa besar sedangkan ayahnya duduk di kursi kerja.
“Selamat malam.” Sapanya lantas duduk di depan sang ibu.
“Mm, sudah sampai, makan dulu?” Tanya Tiyas tanpa melihat Dwi.
“Ga usah, Yah. Tadi udah makan sama temen.”
Mega meletakan selembar foto di atas meja kemudian menggesernya ke hadapan Dwi. “Calon istrimu.”
Dwi mengangkat alisnya, meraih lembar foto itu. Gadis sederhana dengan kerudung putih terurai panjang, wajahnya tanpa polesan mek up.