Perempuan Berniqab Hitam

Nila Kresna
Chapter #7

Barang Haram Milik Dwi

Acara lamaran dimulai dengan penyerahan bingkisan lamaran, juga izin untuk melamar Fatihah. Kyai Umar sendiri yang memberi restu lamaran Dwi.

“Kami sudah menerima semua niat baik ananda Dwi untuk mempersunting putri kami, Nur Fatihah Azahra. Sekarang, mari kita mendengar sendiri bagaimana putri kami, Nur, menerima lamaran ananda, Dwi.” 

Kyai Umar mempersilahkan sang istri serta ibu Utami untuk membawa Fatihah keluar dari kamarnya. 

Ayu, Nduk. Kyai, sudah memanggil,” ajak sang ibu pada Fatihah.

Sesaat Fatihah menekan dadanya saking gugupnya, baru kali ini ia bertemu pria yang akan insya allah menjadi suami. Terbesit dalam hati kecilnya sebuah doa terbaik untuk kelak rumah tangga ini diridhoi pemilik semesta.

Begitu keluar dari pintu kamar, Fatihah hanya menunduk mengikuti langkah ibunya untuk duduk di samping Nyai Hasnah sebelah Kyai Umara.

“Nah ini ananda, Dwi. Putri kami Nur Fatihah Azahra,” kata Kyai Umar memperkenalkan.

“Nur, insya allah niat ananda Dwi datang kesini baik, hendak mempersunting dirimu, Nduk. Sekarang apakah kamu menerima apa tidak lamaran ananda Dwi Tyas Haryono?”

Fatihah yang tadi menunduk sedikit mengangkat wajahnya bertemu tatap dengan Dwi, lantas kembali menunduk. Paras Dwi tegas, memiliki jambang namun terlihat telah dibersihkan. Hidungnya mancung sedangkan kulitnya kuning langsat, aga gelap.

Bismilah hirohman nirohim.” Sedikit bergetar ragu, kemudian. “Saya menerima lamaran ini,” kata Fatihah.

Ditengah haru ucapan syukur para saksi yang hadir, ada hati Aiman yang terasa bergetar hebat. Ia patah melihat gadisnya hendak dimiliki pria lain.

Dari sudut yang sama ada Riyan yang juga memendam niat yang sama, tapi saat melihat calon Fatihah seketika rasa dengki dalam hatinya menyeruak. ‘semua wanita sama saja, suka dengan pemuda kaya’ Kedengkian melihat Fatihah juga Dwi bergantian, karena dirinya hanya guru biasa.

Setelah acara inti selesai kini beralih pada jamuan dengan pembicaraan santai. Sedangkan Fatihah masih tidak berani memandang, Dwi. Pria itu sangat dingin melihat Fatihah seperti sangat jauh dari seleranya.

Tiyas yang memulai pembicaraan. “Jadi begini, sahabatku. Aku mengusulkan untuk pernikahan mereka dilakukan di Jakarta saja, karena sanak famili juga relasi kami semua ada di sana. Untuk semua keluarga Nur juga sanak familinya akan kami sambut baik di sana.”

“Mm ... saya berharap pernikahan ini berlangsung tetap di pesantren, Yas. Tapi mari kita bicarakan dengan baik, bagaimanapun keputusan tetap ada pada keluarga, Nur.” Kyai mempersilahkan ibu Utami untuk mengemukakan keinginan atas acara nanti. 

“Iya, saya paham itu, bagaimana ibu, Nur? Usulan saya, jika saya memboyong semuanya ke sini terlalu banyak yang harus diurus. Maksud saya juga biar Nur dan Dwi juga lebih nyaman setelah selesai acara, kita tidak mengganggu keduanya.”

Lihat selengkapnya