Selepas kepergian keluarga Dwi dan keluarga Kyai Umar tinggalah beberapa saudara Fatihah yang masih ikut membantu membereskan semua sedangkan Fatihah sendiri sudah ada di dalam kamar bersama Gendis dan ibunya membereskan barang yang diberikan tadi.
"Banyak sekali ya, Mbak, bawaannya." Gendis masih memilah-milah barang yang akan disimpan.
"Iya." Fatihah tidak enek sendiri. Sesungguhnya ia tidak ingin bermewah-mewah dalam pernikahan nanti, tapi melihat saat ini apa yang keluarga Dwi berikan sudah bisa dilihat bagaimana mewahnya pernikahan yang akan berlangsung nanti.
"Mbak, yang tadi dikasih Mas Dwi apa? Gendis mau lihat."
Fatihah menyerahkan kotak terakhir yang diberikan Dwi yang berati tidak masuk dalam bingisan hanya untuk pribada Fatihah. Gendis segera membukanya. Di dalam kotak ternyata ada amplop putih yang sangat tebal, rasanya semua orang bisa menebak apa isinya, tapi, mungkinkah sebanyak itu?
Pasdibuka Gendis sampai tidak bisa menutup mulutnya.
"Banyak banget, Mbak. Uangnya."
Gepokan uang pecahan seratus ribuan.
"Ya Allah, banyak sekali." Ibu Utami yang tadi sedang membereskan barang langsung ikut duduk melihat yang Gendis pegang.
Fatihah terdiam melihat uang itu, rasanya tidak nyaman meski mungkin alasan Dwi memberikan uang itu agar dirinya nanti tidak terlalu keteteran saat keluarganya diboyong semua ke Jakarta.
"Alhamdulillah, Mbak. Dapat jodoh yang baik, ga pelit lagi." Gendis memeluk Fatihah penuh rasa syukur, dari sini sudah bisa dilihat jika Dwi bukan orang pelit jadi nanti mbanya pasti akan bahagia.
"Rejekimu, Nduk. Disimpan, kalo-kalo nanti suamimu sedang ada masalah keuangan kamu bisa bantu dia dengan uang ini. Simpan."
"Tidak bu, buat ibu saja. Kan kita juga butuh banyak persiapan nanti."
"Nda usah dipikirkan, ibu sudah jauh-jauh hari memikirkan itu jadi sudah ada tabungan untuk kalian, insyaallah, cukup." Utami menyerahkan uang itu pada tangan Fatihah lantas memeluk putrinya hangat, diikuti Gendis.
"Sudah, Gendis bantu Mbak beresin ini semua, ibu mau kebelakang dulu." Utami pamit ke belakang disana masih banyak keluarga dekat yang membantu membuat hidangan tadi.
Begitu sampai di dapur dengan bahasa jawa kental ibu Utami berbincang. “Terima kasih yo sudah membantu lamarannya, Nur.”
“Sama-sama, bu Utami. Alhamdulillah semuanya lancar, ga usah sungkan kami selalu siap membantu.”
“Iya ibu-ibu sekalian.”
Tiga orang wanita dewasa disana saling melemparkan senyuman.
“Ngomong-ngomong, Nur nasibnya bagus sekali bu Utami bisa dapet orang kota, kaya raya lagi. Bawaannya mewah-mewah semua terus saya lihat tadi kayaknya ada karangan bunga terbuat dari uang.”
“Alhamdulillah, rezekinya Nur, bu.” Ibu Utami ikut mengelap piring pesantren untuk kembali disimpan.
“Kira-kira ada temennya yang cari jodoh juga, ga? Buat Yuni, dia susah juga cari calon.”
“Waduh saya kurang tau kalo masalah itu, coba tanya sama Kyai Umar mana tau beliau bisa membantu jodohnya, Yuni.”
“Iyo lah, kapan-kapan coba tanya Nyai Hasnah.”