Perempuan Berniqab Hitam

Nila Kresna
Chapter #9

Perjalanan Takdir

Satu bulan sebelum pernikahan.

"Gendis kepengennya ikut loh, Mbak.” Rajuk anak gadis itu di dalam kamar Fatihah.

“Ya, kan sekolah, kalo libur pasti Mbak ajak.” Fatihah sedang mengepak pakaian yanga akan dibawa, siang nanti ia akan diantarkan ke bandara untuk bertolak ke Jakarta atas permintaan calon mertuanya untuk memilih dekorasi, gaun pengantin, juga keperluan lainnya.

“Kenapa juga pernikahannya harus diadakan di Jakarta? Gendis kan kepingin juga membantu langsung pernikahan, Mbka.”

He, he ... opo toh iki ngedumel terus, ibu dari kamar sebelah ngedenger suaramu, Ndis,” hardik Utami seketika membuat anak gadis itu diam.

“Ya enda, Bu. Gendis mau ikut serta mempersiapkan pernikahan Mbak ,Nur.” Anak gadis itu kembali cemberut kecewa.

“Ya jangan begitu, ini momen Mbak mu bahagia jangan dirajukin terus.”

Njeh, buk.”

“Sudah selesai pakingnya, Nur?” Tanya Utami seraya memberikan bingkisan buah tangan untuk keluarga Dwi di jakarta.

“Sudah, bu.”

“Ya sudah kita keluar sekarang, nda enak kalo nyai sama Gus yang duluan sampai ke rumah, kitanya belum juga keluar.”

Kedua anak gadisnya mengangguk seraya melangkah keluar kamar. Tidak menunggu lama mobil Gus Aiman datang.

“Sudah siap?” Tanya nyai Hasnah dari dalam mobil lantas turun diikuti Aiman.

“Sudah, Nyai."

Aiman mendekat pada Fatihah. “Sini tasnya.” Tangannya terulur meraih tas yang Fatihah berikan.

“Terima kasih ya, Gus.” Kata Fatihah dengan senyuman tipisnya.

“Sama-sama.” Aiman membuka pintu belakang lantas meletakan tas Fatihah. Rasanya sangat berat melepaskan wanita itu pergi.

“Maaf ya, Utami. Kiyai nda bisa ikut antar. Ada urusan mendadak yang nda bisa ditinggal. Biasanya bisa digantikan Aiman kali ini nda bisa harus beliau sendiri yang mengurus.”

Njih, Nyai ora nopo-nopo. Sudah sangat bersyukur alhamdulillah diantar Nyai sama Gus Aiman. Terima kasih.”

Yo wes nda usah saling sungkan kita, yo.” Tawa kecil Nyai Hasnah terdengar dibarengi kendaraan itu mulai melaju dengan wajah sopirnya datar. Ia hanya sedikit mencuri lirik dari spion melihat wajah cantik Fatihah.

Napasnya berkali-kali terlepas berat, rasanya masih tidak ikhlas melepaskan Fatihah pada pria lain meskipun mungkin Dwi lah jodohnya.

***

Sampai di halaman bandara, Aiman kembali mengeluarkan tas Fatihah. “Kalo ada apa-apa telpon aku, pasti langsung datang,” kata Aiman. Fatihah yang meminta tasnya ditolak Aiman, ia yang akan membawakan.

“Iya, Gus.”

“Nyampe sana kamu dijemput siapa?” Tanyabya lagi.

Lihat selengkapnya