“Pak Dwi ada rapat mendadak, katanya, Bu. Saya yang diperintahkan untuk jemput, Mba Nurnya,” tutur sang supir.
“Gimana sih! Saya sudah bilang harus dia yang jemput!” Mata Ibu Mega terarah tajam pada sopirnya. Lantas tatapannya kembali pada Fatihah langsung berganti menjadi tatapan ramah lagi.
“Ya sudah, kamu ganti baju dulu, abis itu makan,” perinta ibu Mega pada Fatihah.
“Sri, anterin calonnya mas Dwi ke atas, terus bantu dia beberes dulu!” Perintah ibu Mega lagi.
“Baik, bu. Mari Non saya bawakan tasnya,” kata Sri pada Fatihah hendak meraih tasnya.
“Tidak apa-apa saya bawa sendiri, Mbak.” Fatihah menolak kebaikan wanita yang lebih dewasa darinya itu.
“Nur ... biasakan dibantu sama asisten rumah tangga, mereka dipekerjakan untuk itu, membantu kita. Kamu harus fokus sama Dwi dan merawat diri sendiri, nanti,” kata Ibu Mega menatap Fatihah.
“Iya, Bu.” Sepertinya Fatihah memang harus belajar kehidupan Jakarta yang serba berkemewahan.
Ternyata sampai kamar pun ia masih dilayani dengan begitu baik sampai Fatihah merasa tidak enak, yang terbiasa semuanya serba sendiri kini berubah tiba-tiba menjadi tuan putri.
Di kamar, Ibu Mega menelpon putranya, keduanya langsung berdebat.
“Kamu kelewatan, calon istri datang bukannya dijemput!”
“Apa sih, Bu. Dia udah gede, lagian aku udah kirim supir buat jemput dia sama ditawari makan juga, dimana kalo-kalo dia mau makan di kafe. Kurang peduli apa lagi. Lagian yang mau nikah bukan aku.”
“Dwi! Awas ya kamu berani-berani ngusik pernikahan ini, ibu sama ayah sudah suka sekali sama, Nur.”
“Iya, karena dia penurut ga bakalan bantah ibu, bisa selalu diatur. Ngga kaya ayah sama aku yang ga bisa ibu atur."
“Jaga mulut kamu, ya. Daripada pilihan kamu perempuan tidak jelas. Malam ini ibu tunggu, kita makan malam bersama, pokonya kamu harus dayang!”
Panggilan diakhiri. Dwi yang sedang menemani Bella berbelanja terlihat kesal.
“Malam ini ga jadi keluar, ada urusan mendadak.”
Bella yang sedang memilih baju mengangguk. “Oke, ga masalah. Kamu urus aja dulu masalah kamu.”
“Bella.” Dwi menarik siku wanita itu agar menghadapnya. Tatapan matanya begitu dalam pada wanita malam itu. “Lo, lebih berharga dari siapapun.”
Wanita itu tersenyum. “Mm ... tenang aja gue baik-baik aja ko.”