Sudah terbiasa setelah shalat subuh Fatihah tidak pernah tidur lagi berlanjut membaca Al-Qur'an setelah selesai ia ingat belum mengabari lagi ibunya.
Setelah panggilan telepon diangkat ibunya lantas membalas salamnya, Utami langsung bertanya. “Bagaimana, Nduk, di sana? Ibu tidak bisa tidur semalam, mendoakan kamu terus, biar lancar semua urusannya.”
Paham anaknya sudah dewasa sudah waktunya juga menjalani hidup sendiri, tapi hati Utami terus saja berat sampai tadi malam berulang kali memohon menyebut nama anak pertamanya itu.
“Aamiin, insyaallah lancar, Bu. Nur, juga diperlakukan sangat baik di sini.”
Terkecuali, Dwi yang masih terlihat keberatan dengan perjodohan ini, sedari awal seharusnya pria itu menolak bukan malah berprasangka yang bukan-bukan padanya. Dari semalam Fatihah terus berpikir apakah Dwi nanti bisa mmenerima dirinya?
“Nur ... ko diem?”
“Nda, Bu. Disini terlalu sepi.” Fatiha melihat jam sudah setengah enam. “Nur, kangen suara ngaji di pesantren.”
Ada keraguan akan pernikahan ini, apalagi membayangkan dirinya tidak lagi bisa mendengar suara mengaji. Sayangnya semuanya sudah berjalan sejauh ini.
“Bu, Nur, coba lihat keluar ya bu, mana tau di bawah sudah pada bangun.”
“Ya, sudah ibu tutup telponnya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Setelah menutup telepon Fatihah keluar dari kamar lantai dua melihat-lihat pada lantai bawah yang masih sepi, apa iya belum ada yang bangun? Karena penasaran Fatihah menurunti satu demi satu anak tangga, semakin jauh ia berjalan malah takut tersesat tidak bisa kembali ke kamar.
“Non, cari apa?”
Astaga Fatihah sampai terperanjat dengan sapaan barusan.
“Aa ... itu.” Fatihah tergagap hendak menjawab pertanyaan pelayan itu.
“Maaf, Non. Kaget ya?”
Sehabis meletakan sarapan asisten rumah tangga itu hendak kembali ke area dapur, tidak sengaja melihat Fatihah berjalan sambil melihat-lihat. Kabar kedatangan calon istri Dwi sudah diketahui semua penghuni rumah, banyak yang mengatakan beruntung orang kampung bisa menikah dengan seorang pewaris. Tidak sedikit juga yang mencibir hubungan keduanya tidak akan lama.
“Silahkan ke meja makan sarapan sudah tersedia, Non. Tinggal menunggu ibu dan bapak turun, biasanya jam tujuh apa jam delapan.”
“Iya, terima kasih. Saya kembali saja ke kamar, nanti jam tujuh baru turun lagi.”
Asisten itu hanya mengangguk lantas melihat kepergian Fatihah kembali naik ke lantai kamarnya.
Di dalam kamar Fatihah kembali duduk di lantai beralaskan karpet empuk, ia kembali membuka Al-Qur'an melanjutkan mengaji sampai jam tujuh pagi, sebelum turun ia kembali solat sunah untuk meminta kelancaran segala urusan.
Turun dari kamar Fatihah kembali berjalan pada arah tadi, malah kembali bertemu asisten rumah tangga yang kemarin bertemu.