Acara pernikahan sudah selesai dari satu jam yang lalu, semua riasan, gaun pengantin sudah selesai dilepaskan dari Fatihah, semua anggota keluarga juga sudah beristirahat di masing masing kamar yang disediakan. Tadi, saat Fatihah sedang dibantu melepaskan semua hiasan tubuhnya Dwi pergi begitu saja tanpa pamit ia pikir mungkin hanya sebentar, nyatanya sudah satu jam ini pria itu tidak juga kembali.
Mau bertanya dimana, ia tidak punya nomor Dwi, akhirnya setelah sholat Fatihah memutuskan untuk berbaring sesaat melepaskan lelah. Tidak tahan dengan kelelahan, matanya perlahan terpejam.
Krek.
Bunyi pintu dibuka seketika memabangunkannya.
‘ya Allah aku ketiduran," gumamnya pelan.
Ia segera duduk melihat ke arah pintu, Dwi masuk dengan langkah lebar langsung membuka kopernya. Melihat isinya kosong. “Dimana baju saya?” ia kembali menutup kopernya kesal.
“Itu, Mas. Tadi saya bereskan, di dalam lemari.” Fatihah sudah berdiri berniat melayani.
“Lain kali ga usah sentuh barang saya!” ia menggeser deretan kemeja untuk mencari warna yang akan dikenakan.
“Baik, Mas. Mau saya bantu, Mas?” Fatihah terhenti dari langkahnya tadi yang hendak mendekat, ia masih tertahan di ambang ranjang dengan kedua tangan saling meremas. Tidak ada kelembutan dari cara Dwi bicara barusan, bagaimana ia bisa menjalankan kewajibannya jika suaminya sendiri menolak.
Tidak menjawab pertanyaan Fatihah, Dwi langsung membuka kancing kemeja di depan lemari. Seketika Fatihah membuang pandangannya melihat pria itu bertelanjang memunggunginya.
Setelah kemejanya terpasang Dwi kembali menghadap pada Fatihah. “Kamu bebas mau pergi dengan siapa saja!”
“Maksudnya, Mas? Saya tidak akan pergi jika bukan dengan mahram saya.”
“Terserah, yang penting jangan cerewet ngadu-ngadu! Semua kebutuhan kamu saya penuhi.” Ia mengeluarkan kartu dari dompetnya. “Ini, pake sepuasnya!” Dwi meletakkannya di atas nakas. Lantas bergegas hendak keluar.
“Mau kemana, Mas? Apa masih ada urusan?” Fatihah menunduk saat bertanya pada Dwi, apa yang tadi dikatakannya sudah sangat menyinggungnya sebagai istri. Nafkah memang wajib diberikan suaminya tapi tidak dengan cara merendahkan, keberadaannya bukan semata-mata karena uang.
“Tadi udah dibahas, jangan cerewet! Kalo kamu mau pergi juga silahkan!”
Sudah, itu saja yang dilakukan kedua mempelai itu dimalam pertama sebagai pengantin ini. Pria itu pergi begitu saja bahkan tanpa mengucapkan salam.
Fatihah hampir meneteskan air mata akan sikap suaminya, jika tidak menyadari keduanya memang masih sama-sama asing. Mungkin, masih butuh beberapa waktu untuk saling mengenal meskipun Fatihah juga tidak ingin terlalu cepat saling mendekat, tapi, paling tidak bisa lebih saling menghargai tidak pergi begitu saja. Disini keduanya sudah menikah, sudah ada pertanggung jawaban Dwi atas dirinya dihadapan Allah nanti. Lutut Fatihah terasa lemas, ia duduk di tepian ranjang.
“Sabar, Fatihah.” Ia menepuk dirinya sendiri menyadari sikap Dwi belum berubah.
***