Perempuan Berniqab Hitam

Nila Kresna
Chapter #15

Malam Kedua

Tidak ada yang bisa dilakukan, ia hanya membaca lewat ponsel, begitu Dwi bangun ia segera meletakan ponselnya menunggu jika ada yang Dwi minta.

“Jam berapa?” tanyanya.

“Jam sepuluh, Mas.” Fatihah bangun dari duduknya melihat Dwi mulai turun dari ranjang.

“Siap-siap!” sudah memerintah ia segera beranjak hendak masuk kamar mandi, untuk membersihkan tubuhnya dari jejak semalam.

“Mm, mau kemana, Mas?” Maksud Fatihah bertanya, hanya ingin tahu suaminya akan mengajak kemana, jika mau diajak jalan-jalan ia ingin mengusulkan lebih baik menemui ibunya.

“Kamu mau seharian di kamar?”

Dwi langsung masuk setelah mengatakan hal tadi. Sedangkan Fatihah langsung bungkam, sungguh bukan itu maksudnya.

Mondar-mandir tidak jelas membawa baju yang akan dikenakannya, ia bingung menggantinya dimana. Tidak lama, Dwi keluar hanya dengan handuk sebatas pinggang.

Fatihah buru-buru membalikan badannya. Sedangkan Dwi hanya tersenyum miring atas tingkah wanita itu.

Jangan harap dengan kepolosannya mampu memikat!

Dwi akan mengganti pakaian disini, Fatihah segera masuk ke dalam kamar mandi, sengaja berlama-lama disana agar Dwi selesai lebih dulu. Begitu ia selesai mengganti bajunya, pelan-pelan membuka pintu melihat-lihat apakah Dwi masih ada di sana. Sukurah kamar ini sudah kosong.

Sudah selesai bersiap ia keluar dari kamar, ternnyata Dwi ada di saan dengan tatapan datar penuh ketidak sukaan. Sampai Fatihah berpikir salah apa dirinya?

Sudah sekian lama ada dalam kendaraan hanya berdua tidak ada pembahasan apapun. Begitu mobil masuk parkiran tempat janjian dengan ibunya barulah Dwi bicara.

“Gausah ngadu soal semalem!” katanya tanpa melihat Fatihah.

“Saya tidak akan membicarakan aib saya pada orang lain, Mas.”

Dwi melihat Fatihah tajam. “Jadi maksud kamu, apa yang saya lakukan semalam itu, aib?”

“Silahkan pikirkan sendiri, Mas.” Ia turun lebih dulu diikuti Dwi juga turun.

Kalau saja Fatihah tau ia hendak kemana ia tidak akan menunggu Dwi saat ini.

“Sebelah sini.” Dwi membawa Fatihah berjalan pada sisi sebaliknya. “Kita makan siang sama ibuku dan ibu kamu.” Dwi merangkul Fatihah meski tanganya terasa mengambang di pundak Fatihah.

Sampai sini Fatihah paham jika Dwi hanya akan berbuat baik pada dirinya di hadapan keluarga. Setidaknya itu lebih baik, ia bisa menjaga perasaan ibunya dan Gendis.

Begitu melihat kedua wanita itu, Fatihah langsung menyunggingkan senyuman, tidak ada yang boleh tau jika hatinya saat ini tengah terluka.

Lihat selengkapnya