Sudah selesai mengepak barulah Dwi pulang sudah dengan pakaian berbeda. Tidak mengucapkan salam ia langsung saja masuk. “Udah siap?”
Fatihah menoleh tidak suka. Datang-datang bertanya seperti itu seperti tidak ada apapun yang terjadi, ditambah sudah sangat rapi. Dimana suaminya mengganti pakannya? Tentu saja itu membuat semakin kecewa.
“Sudah.”
Tas Dwi juga sudah rapi di atas kasur, Dwi langsung mengambilnya tanpa memperdulikan tas Fatihah.
“Mas. Saya bikinkan sarapan tadi. Mm, telur dadar.” Fatihah sudah hendak menyiapkan.
“Ga usah, lain kali ga usah nyiapin apa-apa, ga akan saya makan juga.” Dwi berlanjut menenteng tasnya keluar dari kamar.
Tidak ada yang bisa Fatihah lakukan ia juga menenteng tasnya dengan kecewa, sebelum benar-benar keluar ia sempat melihat piring yang tertata diatas meja yang belum tersentuh sama sekali. Berlanjut di dalam mobil keheningan yang mengambil alih, rasanya takut untuk sekedar bicara, takut-takut Dwi tika suka dengan obrolannya.
“Kita anter ibu kamu dulu, abis itu ke apartemen.”
Fatihah hanya mendengarkan dengan patuh semua perintah Dwi meski ingin bertanya. Dimana pria itu malam-malam kemarin, dengan siapa, kenapa tidak pulang? Semuanya hanya tertelan karena sikap acuh Dwi.
Sampai di bandara tangan Dwi langsung merangkul pundak Fatihah membuat dirinya sedikit kaget atas sikap yang tadi dingin sekarang berubah lebih hangat.
“Bu.” Dwi menyalami ibunya juga ibu Fatihah. Ngobrol sebentar Dwi memberikan amplop untuk Gendis.
“Buat Gendis.” Dwi menyerahkan amplopnya.
“Apa ini, Mas? Ga usah repot-repot, Mas.” Gendis hendak memberikan kembali amplop itu.
“Buat jajan di rumah.” Kata Dwi lagi mau tidak mau Gendis menerimanya.
“Terima kasih, Mas Dwi.”
Selesai berpamitan Gendis dan Utami kembali ke Solo sedangkan sikap dingin Dwi kembali hadir. Fatihah paham, ia hanya bisa menunduk di depan Bu Mega.
“Saya ada urusan kamu balik ke apartemen sendiri.” Dwi sudah hendak pergi.
Bu Mega yang berani menghalangi Dwi. “Kamu antar, Dwi. Kalain kan sedang bulan madu masa istrimu dibiarkan sendiri.”