Jam enam pagi Dwi baru bangun, Fatihah berinisiatif membuatkan minuman hangat, kata bu Mega Dwi kalau mau ke kantor ga sarapan nasi cuma susu sereal yang ada di lemari dapur, Fatihah mebuat itu lantas meletakan di meja tamu dimana biasanya Dwi memakai sepatunya.
Baru saja Dwi keluar lantas duduk, Fatihah langsung menghidangkan minuman itu dengan kepulan uap hangatnya. Dwi sudah jengah melihat ini.
Fatihah dengan niat sepenuh hati mengambilkan sepatu lantas di letakan di dekat kaki Dwi. “Ada lagi yang Mas butuhkan?” mencoba santai dengan sedikit senyuman meski keadaan tidak secair itu.
Bukankah Dwi sudah memperingatkan dari kemarin jangan memperlakukannya seperti orang jompo yang harus semuanya diambilkan, apalagi pria paling tidak suka dibantah.
Fatihah yang tidak mengetahui keadaan hati Dwi saat ini kembali memanggil. “Mas.” Karena masih tidak ada jawaban dari pertanyaannya tadi, berpikir mungkin Dwi tidak mendengar pertanyaannya. Masih dengan suara lembut dirinya bertanya lagi. “Mas, ada yang dibutuhin lagi? Biar saya ambilkan.”
Prang.
Minuman hangat yang dibuat sepenuh hati itu berserakan karena Dwi menepisnya kasar. Membuat Fatihah terkejut melihat kemarah Dwi kali ini.
“Berapa kali saya harus bilang, urus diri kamu sendiri!” Teriak Dwi di depan wajah Fatihah, membuat wanita itu pucat pasi. Kali ini ia takut dengan perlakuan Dwi sampai kata maaf pun tidak bisa keluar dari bibinya, maaf jika cara penyajiannya salah.
Dwi langsung merampas kunci mobil lantas memakai sandalnya langsung keluar dari unit itu. Meninggalkan keterkejutan luar biasa Fatihah, apalagi tadi saat Dwi meneriakinya dengan wajah terbalut amarah. Ia menangis ketakutan sekaligus patah hati, rasanya sangat sesak diperlakukan demikian.
Sampai Sri datang Fatihah sedang merapikan tumpahan susu tadi dengan uraian air mata, mengerti keadaan ia bergegas membantu. ”Non, biar saya saja. Sini, Non, lapnya biar saya yang bersihkan.”
Fatihah tidak bisa menutupi kesedihannya, tapi ia tetap memberikan lap itu. “Saya tinggal ke kamar.”
“Iya, Non.” Sri masih mengamati kepergian nona mudanya masuk dalam kamar setelahnya ia melanjutkan membenahi ruangan lantas ke dapur melihat semua makanan yang dimasaknya hanya berkurang sedikit, dari sana Sri bisa menebak jika Dwi tidak makan.
Hanya sholat yang mampu menenangkan hati Fatihah saat ini, dengan uraian air mata ia bercerita keresahan hatinya serta memohon agar Dwi berubah.
***
Sudah satu bulan Sri disana, sekalipun belum pernah melihat Dwi ada di rumah yang artinya anak tuan besar itu pulang malam atau mungkin tidak pulang? Makanan yang dibuat pun keadaannya sama hanya tersentuh sedikit, nasi juga lauk pauk hanya berkurang sedikit.
Mega yang duduk di ruang tengah menunggu kedatangan Sri. “Bagaimana?”
“Saya masih tidak melihat Den Dwi di rumah, Bu.” Tutur Sri di depan bu Mega. “Makanan juga hanya berkurang sedikit. Non Nur juga ga pernah kemana-mana atau nerima tamu. Maaf, saya lihat non Fatihah sedih terus, Bu.” Sri menunduk takut-takut ucapannya salah seperti menyudutkan Dwi putra bu Mega.
“Ya sudah, kamu boleh pergi.” Ada tarikan napas dari bu Mega, ia paham betul keadaan rumah tangga ananknya masih belum ada perubahan. Seharusnya jika keduanya sama-sama bahagia layaknya pasangan pengantin Sri pasti akan melihat interaksi mesra keduanya dirumah, atau paling tidak Dwi pasti mengajak Fatihah keluar rumah.
“Kamu harus bantu aku, Mas. Urusin anak itu.”