Selesai memanjakan Bella dengan semua kemewahan lalu makan siang bersama teman-temannya waktunya pulang. Begitu di depan kasih. “Maaf, Pak. Debitnya tidak bisa digunakan.” card berwarna hitam itu dikembalikan pelayan kasir pada Dwi.
Dwi tahu jika itu sudah tidak bisa digunakan berarti Ayahnya menutup semua dana yang berasal dari kantor. Dwi segera membayar dengan ATM pribadinya. Ia tahu ini pasti dampak dari beberapa hari ini tidak pulang ke apartemen. Ia mengumpat, menyalahkan semuanya pada Fatihah.
“Kenapa ga bisa dipake?” tanya salah satu temannya. Tidak lama mereka menyadari sesuatu, lalu tertawa terbahak. “Jangan bilang ini pengaruh istri yang ditinggal party sama suaminya.” Semuanya kembali tertawa sedangkan Bella langsung memalingkan wajah hendak berlalu.
“Mau kemana, kamu?” Sikunya ditahan Dwi. “Aku tidur di sana,” lanjutnya lagi.
“Ada Vio, lain waktu, ya.” Bella mencium bibir Dwi tips.
“Kamu cemburu?” tanya Dwi lagi melihat Bella penuh ketegasan.
“Ngapain aku cemburu, bukannya kamu lebih sayang aku daripada dia.” Katanya percaya diri. Keempat temannya langsung bersorak. Sedangkan Dwi tersenyum miring, ia benar-benar tergila-gila pada Bella bahkan ucapan tadi seakan membuatnya melambung tinggi.
“Aku antar ke rumah Vio, dulu.” Dwi sudah merangkul Bella.
“Ga usah, bisa ikut yang lain.” Ia berjalan keluar diiringi Dwi dan yang lainnya.
“Ya udah, gue duluan.” Dwi berpamitan pada empat temanya dengan dua orang wanita dua pria.
Malas untuk pulang ke apartemen tapi bukti atmnya diblokir orang tuanya berarti tidak segan memberikan keuntungan perusahaan pada pesantren atau dinas sosial lainnya. Ini tidak bisa dibiarkan, usaha pengembangan perusahan ia lakukan siang malam sampai bisa seperti sekarang, tapi yang menikmati malah orang-orang yang malas bekerja.
Enak saja!
Dwi mendatangi apartemen, pintu dikunci dari dalam, ia mengendornya kuta. “Fatihah!”
Fatihah langsung bergegas membukakan pintu. “Lama banget!” Ia melemparkan sembarangan jas yang tadi dipakai. Masuk dalam kamar mandi lalu terdengar bunyi shower, kali ini Fatihah tidak membantu apapun membiarkan Dwi sesukanya.
“Aku lapar.” Katanya duduk di samping Fatihah yang sedang menonton televisi.
“Saya siapkan, Mas.” Ada sedikit kegembiraan akhirnya Dwi mau bicara dengannya dengan nada datar tanpa emosi. Karena itu ia tersenyum sendiri di dapur sambil mempersiapkan semua hidangan, begitu semuanya sudah hangat ia kembali ke ruang televisi.
“Sudah siap, Mas,” ajaknya.
Dwi langsung berdiri menuju ruang makan yang bersebelahan dengan dapur. Ia duduk menunggu Fatihah mengambilkan nasi. Tapi karena sebelum-sebelumnya selalu ditolak jadilah Fatihah hanya berdiri, berpikir Dwi tidak ingin ditemani atau diambilkan lauk.
Baru saja ia akan pergi.