Keapikan dalam berumah tangga ialah jika sedang bermasalah dengan pasangan akan tetap di rumah dan menyelesaikan permasalahan. Tidak bagi Dwi, ia pergi meninggalkan Fatihah dengan amarah, jangankan pamit, pintu saja sampai dibanting.
Sebagai seorang perempuan Fatihah merasa salah menyampaikan maksudnya, ia berkecil hati merasa tidak dicintai pasangan. Berharap pria itu kembali memeluk atau mengatakan kata romantis ‘aku marah tapi marah ku kini telah hilang’ nyatanya pria itu tidak kembali.
*
Di lobby bawah dengan langkah lebarnya ia keluar dari lift, dari arah depan pria yang tadi ditelpon berlari tergopoh hendak menuju lantai atas. Tapi malah berpapasan disini.
“Bos, ini henponnya.” Jelas terlihat ketakutan sambil menyerahkan kotak itu ditambah wajah Dwi saat ini seperti hendak menelannya.
Brak.
Dilemparnya kotak itu. “Urusin sana, perempuan kampung kaya dia ga bisa pake henpon mahal!” bentaknya lalu pergi.
Orang yang sudah disekitar Dwi sudah paham akan tempramentalnya. Menunduk-nunduk orang itu mengambil kotak henpon, taku-taku Dwi akan menendang atau melakukan hal lain, saat dilihat Dwi pergi barulah pria itu berdiri dengan helaan napas lega.
“Untung, aja.” Katanya. Ia melanjutkan jalan menuju unit kama Dwi. Tadi, bosnya bilang untuk mengurus sesuatu di atas. Dari sana pria itu tahu ada seseorang di unitnya. Hanya, siap yang dimaksud ‘perempuan kampung’ ia tidak tahu?
Sampai di unit kamar ia mengetuk dengan sopan, begitu pintu dibuka sedikit, terlihat perempuan berkerudung. Ia mengingat mungkin ini istri bosnya. “Maaf, Bu. Saya Yono, bawahanya pak Dwi, ini hanpon yang beliau minta.” Yono menyerahkan kotak henpon itu.
“Iya, terima kasih.” Fatihah menerima.
“Kata Pak Dwi saya diminta untuk membantu,” katanya lagi.
“Pak Dwinya sedang keluar, saya juga sendirian di sini. Biar saya saja,” katan Fatihah. Tidak elok seorang perempuan menerima tamu tanpa suaminya.
Pria itu mengerti maksud istri bosnya ditambah terlihat dari pakaian perempuan itu tertutup dengan kerudung panjang, jelas ia perempuan muslim yang taat.
“Kalau begitu, saya tunggu di sini saja, Bu. Takut ada yang mau ibu tanyakan, nanti.” Yono sudah bergeser ke samping pintu siap berdiri sampai semuanya selesai. Ia tidak akan pulang jika henpon itu belum bisa digunakan.
“Kalau begitu bapak saja yang aktifkan.” Fatihah kembali menyerahkan kotak itu.
Ia juga tidak ingin menyusahkan pria itu jika perintahnya untuk membantunya, memang benar ia takut salah lagi lalu Dwi marah lagi karena dirinya tidak bisa mengaktifkan henpon itu.
Helaan napasnya lemah, sebegitu kampung dirinya ternyata pantaslah Dwi tidak suka yang terbiasa hidup modern. Berkecil hati Fatihah dibuatnya. Mengapa jodoh yang Tuhan berikan terlalu tinggi baginya.
Orang itu duduk di lantai mulai membongkar kotak henponnya, setelah semuanya siap ia menghidupkan. Dilihatnya Fatihah sudah tidak ada di pintu. “Bu.” Panggilnya lagi. Pintu itu hanya terkunci oleh rantai kecil menyisakan sedikit ruang terbuka.
“Iya.” Ternyata Fatihah juga tidak jauh dari pintu.
“Ibu tinggal masukan emailnya.” Ia memberikan henpon itu pada Fatihah.
Beberapa waktu menunggu. “Sudah, Bu?”
Fatihah mengangguk. “Sudah pak terima kasih.”