Pesta ini memang diperuntukan agar Dwi datang, setelah selesai pesta dadakan itu Dwi memang pulang bersama Fatihah, ternyata dua hari tidak menyentuh istrinya membuat Dwi rindu. Jika Bella benar-benar menguasai permainan bisa memuaskan fantasinya.
Sedangkan perempuan pemalu yang belum tahu apa-apa sangat menarik untuk diperalat, suara kelelahannya candu bagi Dwi. Tanganya terus menempel pada punggung Fatihah selama acara, sampai berjalan pulang dengan baik dirinya membawa Fatihah masuk ke dalam mobil. Mega dan Tyas melihat itu tersenyum malu, berpikir anaknya menemukan pelabuhan terakhir, juga bangga jodoh yang dipilihkan tidak salah. Tapi, nyatanya disini Fatihah tetaplah korban.
Di dalam mobil sikap Dwi kembali dingin, Fatihah sadar itu. Karena itu ia berinisiatif meminta maaf terlebih dahulu. “Mas.” Panggilnya lembut sembari melihat Dwi.
“Aku minta maaf,” katanya lagi.
Dwi yang menopang rahang tidak berniat melihat Fatihah. “Bagus kalo sadar.” Begitu jawaban penuh keangkuhannya.
Ia hanya bisa menundukan kepala atas kemarahan Dwi, berharap meski marah suaranya tetap lembut berkata manis atas kesalahannya.
*
Duduk bersebelahan Dwi memegang paha Fatihah, pegangan genit seorang pria, meski suami sendiri tapi diperlakukan demikian rasanya seperti Fatihah hanya pemuasnya saja tanpa ada kasih sayang disana.
“Aku sholat dulu, Mas.” segera berlari untuk menunaikan kewajiban karena Dwi tadi sudah menahannya. Entah mengapa dalam dekapan Dwi membaut Fatihah gundah, merasakan ketidaknyamanan saat Dwi mulai menyentuh.
Lebih mementingkan ibadah membuat mood Dwi rusak, ia kembali menjadi dingin di tempat tidur, mengabaikan Fatihah memilih memejamkan mata.
Selesai sholat Fatihah menuju ranjang melihat Dwi sudah membelakangi, meremas ponsel ditangan ada yang hendak disampaikannya. “Mas,” panggilnya.
Dwi pikir Fatihah menginginkannya. “Apa.” Ia sudah bersiap.
“Ada undangan pernikahan dari gus Aiman.”
Dwi berharap rayuan yang didengarnya, nyatanya malah hal tidak penting. “Terserah.” Ia pikir Fatihah sedang meminta izinnya untuk peri.
“Kita datang bersama mewakilkan, ibu. Waktu kita menikah keluarga Aiman banyak membantu acara kita.”
“Terus, aku harus berterima kasih sama mereka, kamu pikir aku tidak sanggup membiayai semuanya. Bantuan segitu doang!” suaranya membentak sampai membuat Fatihah ingin menangis. “Aku orang sibuk.” Ia kembali membelakangi Fatihah.
Air matanya sampai terjatuh. “Ini perintah ibu, Mas untuk kita datang mewakili mereka.”
Hanya perkataan Mega yang bisa membuat Dwi diam mengikuti apa maunya. “Ya udah, ia. Puas!” melihat Fatihah penuh dengan kekesalan seakan ini adalah kesalahannya sebagai istri.
*
Dalam perjalan ini sepertinya hanya Fatihah yang bersemangat, Dwi sedari tadi hanya menunjukan wajah malas mengikuti langkah istrinya menaiki pesawat menuju Solo. Sampai di sana kendaraan dari keluarga Aiman sudah menjemput.
“Mbak, Nur.” Seorang santri melambaikan tangan.
Fatihah membalas lambaiannya. “Itu jemputannya, Mas.” Ajaknya pada Dwi untuk segera mendekat.
“Apa sih pake dijemput segala, taksi banyak. Kaya ga mampu bayar.” Dwi paling tidak suka orang lain berjasa atas dirinya. Apalagi merasa bangga membantunya.
“Maksudnya tidak seperti itu, Mas. mereka menjemput karena kita tamu istimewa sudah seperti keluarga. Tidak boleh berprasangka buruk begitu.”
Sampai kapanpun pemikiran Dwi dan Fatihah tidak akan pernah sejalan. Jurang keduanya terlalu dalam.