Kebaya modern menawan dikenakannya pada acara pernikahan Aiman, meski kecewa semalam tidur di hotel kini terobati karena pagi ini ia dan Dwi sudah ada di rumah ibunya lagi untuk ikut ke rumah ning Asma calon istri Aiman.
Dwi di teras sedang menikmati kepulan asap rokok yang dihisapnya. Sedangkan Fatihah terlihat baru kembali dari rumah Aiman setelah tadi mengikuti Utami ke sana untuk sekedar membantu persiapan bawaan. Begitu Fatihah keluar dari gerbang pesantren langsung berpapasan dengan Riyan pemuda yang diam-diam sejak lama menaruh hati padanya.
“Nur.” Panggilnya dengan tatapan penuh kekaguman melihat Fatihah tambah cantik dengan pakaian kekinian.
“Assalamualaikum, Kak.” Fatihah melipat tangan nya mengucapkan salam penuh dengan kesopanan, wajahnya tertunduk tidak ingin kecantikannya dilihat pria lain.
Tapi sayangnya Ryan tetap saja melihat Fatihah penuh minat, perasaannya semakin menggebu melihat betapa cantik sekarang perempuan yang ia sukai dulu itu.
“Kamu tambah cantik, Nur.” Pujian yang tidak seharusnya dilontarkan pada perempuan yang sudah bersuami.
“Enak, ya, hidup di kota sama orang kaya? Dulu, saya ajak jalan ke kota, kamu tidak mau, pas laki-laki kaya kamu mau, langsung mau dinikahi lagi. Mm, Perempuan sama saja.” cibirnya.
Sedangkan matanya tetap ingin menikmati kecantikan Fatihah meski ia sudah semakin menunduk.
“Maaf, kak. Saya tidak bermaksud seperti itu, permisi.” Meninggalkan Ryan adalah hal yang tepat mengingat Fatihah telah menikah juga dirinya tidak ingin mendengarkan semakin jauh bualan pria itu yang terus memandangnya sebagai perempuan yang cinta akan harta.
Jika bisa memilih dulu Fatihah menginginkan pria yang biasa saja seperti dirinya, karena kesadaran dirinya juga orang biasa.
Dari teras rumah, Dwi menginjak rokok yang belum selesai dihisapnya dengan penuh kecemburuan, belum selesai ia menikmati nikotin itu tapi perasaannya seketika membara melihat cara pria lain menatap perempuan kampungnya seperti itu.
“Lama banget sih!?” bentaknya begitu Fatihah sampai di teras.
“Maaf, Mas. Tadi ngobrol dulu sama, nyai.” Entah apa lagi kali ini salahnya, semua kemauan sudah diikuti tapi reaksi Dwi masih seperti itu terhadapnya.
“Pacar kamu banyak dulu di sini? Apa jangan-jangan ada salah satu pacar kamu yang belum selesai kamu tinggalin, terus nikah sama aku?” tanyanya ketus.
“Astagfirullah. Aku ga punya pacar, Mas. Aku juga ga pacaran. Haram dalam islam berpacaran.”
“Alah, semua diharamkan tapi ustad banyak yang mabok main perempuan malah ada yang sex bebas. Kamunya aja yang ga tahu.”
“Mungkin ada, Mas. tapi tidak semua. Bukan berarti juga karena mereka seperti itu lantas kita mengikuti hal yang dilarang. Kalau sudah jelas salah dan tahu itu dosa, jangan diikuti.”
“Sudah, sudah! Aku ga mau berdebat soal agama” Dwi mengacungkan jarinya. “Awas kalau sampai ketahuan kamu bohong soal laki-laki.” Ancamnya penuh tekanan.
Bukan cemburu atau takut kehilangan, hanya ia tidak ingin dibelakangnya Fatihah menertawakan kebodohannya.
Fatihah hanya diam, membela diri pun percuma.
“Kita siap-siap untuk berangkat, Mas.” Fatihah langsung berdiri. Jika wajahnya tadi terpancar kebahagiaan kini kembali redup entah sampai kapan ketegangan ini akan terus berlanjut.