Sudah terlucuti semua pakaian. Fatihah menjauh bergeser ke ujung ranjang, berpikir aksi Dwi akan selesai. Ia menarik selimut untuk menutupi bagian tubuhnya.
Dwi masih berdiri melihatnya tajam dengan napas terengah.
Klik.
Ia membuka kuncian tali pinggang, menariknya keluar dari pinggangnya.
Fatihah sudah menggeleng ketakutan berpikir Dwi akan memukulnya menggunakan itu. Ia hendak berlari menghindar namun kakinya berhasil Dwi tarik.
“Lepas, Mas.” terus meronta berkali-kali mencoba menendang Dwi. Kali ini ia tidak akan diam lagi, Fatihah terus memberontak.
Untuk menghalau tendangan Fatihah. Dwi memaksa perempuan itu tengkurap lalu ia menduduki kedua lututnya.
“Kamu harus belajar gimana caranya muasin suami. Itu kewajiban istri!” Teriak Dwi di telinga Fatihah, sambil kedua tangan perempuan itu ditahan lalu diikat menggunakan tali pinggang.
“Mas!” Mengapa tangannya harus sampai diikat jika Dwi hanya meminta hubungan intim. “Mas!” teriak Fatihah lagi sambil menangis. “Nggak kaya gini caranya. Aku mau peri, ibu ....” Ia menangis meraung memanggil ibunya
“Suut! Janan bersisik! Kita sudah menikah Fatihah, aku punya hak atas kamu.” Katanya sambil melucuti bajunya.
“Aku tahu, Mas. tapi tidak seperti ini caranya, tolong, kita bisa bicara baik-baik. Aku minta maaf.” Tangisnya terus merana.
Dwi kembali berbisik pada telinganya. “Semua bagian tubuh kamu, milik aku. Aku sudah membayar mahal!”
Jadi pernikahan ini bagi Dwi hanyalah transaksi yang dilakukan. Tangisan tidaklah lagi mampu mengungkapkan semuanya.
Tawa Dwi saat ini diatasnya sungguh menakutkan, Dwi memaksa menaikan sedikit paha Fatihah. Sudah bersiap, ia membuka kemasan alat pengaman lalu memakainya.
Begitu terasa hendak masuk.
Fatihah menjerit. “Mas! Demi Allah itu haram untuk kamu gauli. Mas!” tidak mendengarkan bagaimana Fatihah berteriak menjerit, meronta, memohon agar Dwi menghentikan. Dwi tidak perduli ia terus memasukan milikinya pada dubur Fatihah.
Dalam tangisnya juga rasa sakit luar biasa ia berkata. “Demi Allah, aku tidak ikhlas.” Jerit tangis nestapa diperlakukan demikian oleh suaminya sendiri.
“Denger! Keperawanan kamu itu semuanya miliki aku! Lama-lama kamu juga terbiasa, ini karena baru pertama!” Dwi terus memuaskan hasratnya.
Perempuan itu merasa kotor, tangisnya sudah tanpa tenaga. Ia lebih ikhlas jika detik ini nyawanya dicabut sehingga tidak merasakan betapa kotor suaminya memperlakukan tubuhnya.
*
Kamar itu berserakan, Dwi duduk di lantai menikmati kepulan asap rokok, sedangkan Fatihah di atas ranjang berbalut selimut layaknya orang mati. Hiasan wajahnya rusak, tanganya penuh memar, tubuh dan jiwanya rusak.
Dwi bangun mendekat, seketika membuat Fatihah menciut walau sudah tidak berdaya. Melihat Fatihah mundur Dwi langsung tidak suka tapi ditahan amarahnya, ia mendekat lagi membelai rambutnya. “Kita balik ke jakarta, kamu ga mau kan ibu kamu liat kamu kaya gini.” Ucapannya ba racun yang menghentikan aliran darah.
Fatihah kembali meneteskan air mata, tidak mungkin ia memperlihatkan keadaannya saat ini.
“Aku siapin semuanya, kamu istirahat abis itu siap-siap!” Dwi kembali membelai rambutnya.
Menakutkan bagaimana tadi seperti setan sekarang lembut ba malaikat.
Dia benar-benar pergi mempersiapkan kepulangan malam nanti. Selam Dwi tidak ada Fatihah kembali menangis merintih menuju kamar mandi membersihkan tubuhnya yang terasa kotor. Bagaimana ia mempertanggung jawabkan dihadapan Allah nanti.
Guyuran air bercampur darah mengalir melewati saluran pembuangan. Ia duduk di lantai meratapi nasib, mengapa dari puluhan ribu pernikahan harus dirinya yang berada dalam keadaan seperti ini. Sungguh bukan ini yang diinginkan, bermimpi pun tidak memiliki suami seperti itu.
*
Sudah lebih tenang juga sudah bersiap untuk pulang, Fatihah menelpon ibunya. “Ibu.” Suaranya terdengar bergetar menahan tangisan.
“Iya, Ndok, kenapa?” Utami langsung berdiri dari duduk. Tadi ia sedang membantu nyai Hasnah membereskan barang setelah pulang dari rumah Asma.
“Aku balik ke jakarta malam ini, bu.”