Kekacauan berita tentang kecelakaan Dwi mulai tersebar juga dengan fakta bersama seorang perempuan. Spekulasi terus berkembang pada arah negatif, Tyas sudah membantah kabar itu menjelaskan bahwa perempuan yang bersama Dwi hanya teman yang kebetulan numpang mobilnya.
Sudah hari ke sekian Dwi masih di ICU tapi kabarnya keadaannya sudah mulai stabil pasca operasi. Sedangkan Fatihah semakin hari semakin mengurung diri, ia tidak berani keluar rumah rasanya seakan semua tatapan orang sinis terhadapnya.
Mendengar kabar dari Sri jika Fatihah tidak mau keluar dari kamar juga tidak mau makan membuat Mega datang. “Nur.” Ia mengetuk pintu.
Fatihah melihat pada arah pintu enggan untuk membuka tapi Mega kembali mengetuknya. “Nur. Saya mau bicara.”
Akhirnya ia turun dari ranjang membukakan pintu untuk Mega. Keadaannya berantakan seperti enggan hidup, ia seakan sedang menjemput kematiannya.
“Kenapa kamu tidak ke rumah sakit? Nanti orang lain curiga? Kenapa kamu tidak mau makan, Sri lapor sama saya.” Pertanyaan sepihak yang tidak mau Fatihah dengar diantara perasaannya yang kacau.
“Bagaimana kalau wartawan melihat kamu seperti ini, seperti tidak terurus. Ayo makan, habis itu kita ke rumah sakit.” katanya lagi.
Tidak kahkejam, tidak ada pertanyaan atau permintaan maaf dari Bu Mega paling tidak ikut ber lara hati atas Fatihah yang menjadi korban di sini. Apa baginya semua terlihat baik-baik saja?
“Apa arti keberadan saya? Kalian bisa dengan mudah menutupi kebenaran.”
Suara itu menghentikan langkah Mega. “Saya tidak peduli bagaimana kamu sekarang, karena anak saya juga sudah rusak.” Suara Mega hendak menangis. “Apa kamu pikir saya tidak sedih sekarang.”
Fatihah tersenyum dalam luka. “Jadi yang paling penting bagi keluarga anda, tetap terlihat baik?”
“Kamu tidak akan pernah mengerti bagaimana kami berjuang dari nol untuk membesarkan nama kami, saya tidak akan membiarkan rusak begitu saja. Seenaknya kalian anak-anak muda merusak nama yang kami jaga dengan baik selama ini.”
Fatihah paham jika yang ada dipikiran Dwi selama ini hanya tentang uang.
Fatihah mengangguk. “Saya mengerti sekarang, Bu. Saya juga ingin mengabarkan bahwa perempuan itu sedang hamil, kemungkinan anak yang dikandungnya cucuk ibu sendiri.”
“Saya tidak akan mengakui anak itu, kamu tenang saja,” jawabnya lagi.
“Lalu hasil tes ini bagaimana, bu?” Fatihah memperlihatkan lembaran kertas yang memperlihatkan jika Dwi positif. “Bagaimana saya harus diam? Apa ibu pikir setelah semuanya damai kami masih bisa tetap bersama. Sekarang saja saya jijik pada tubuh saya sendiri.” Fatihah menangis mendekati bu Mega.
Sialnya bu Mega reflek menghindarkan tubuhnya dari sentuhan Fatihah. Takut bersentuhan, Fatihah langsung melihatnya.
Tertawa pelan melihat Mega. “Lalu sekarang saya harus bagaimana, Bu?”
“Tenang saja kamu akan mendapatkan perawatan terbaik, kalin bisa pindah ke luar negri hidup dengan damai di sana.”
Fatihah menangis. “Saya tidak mau! Saya minta diceraikan.” Bagaimanapun kelak hasilnya, Fatihah tidak akan pernah kembali pada Dwi.
“Kamu yakin mau cerai, keadaan kamu akan jauh lebih buruk jika bercerai.” Ancam bu Mega.
“Lebih baik saya mati dari pada kembali berhubungan penuh rasa hina dengan anak ibu.” teriak Fatihah penuh emosional. “Apa kalian pikir saya akan bahagia dengan keadaan sekarang, apa kalian pikir uang yang kalian miliki itu bisa membeli kebahagiaan saya. Tidak, Bu.”
“Baik, saya akan urus perceraian kalian. Termasuk kepulanganmu ke Solo. Tapi ingat baik-baik, jangan pernah bocorkan pada siapapun keadaan sesungguhnya. Saya akan membuat surat perjanjian dengan kamu tentang hal ini.” Tunjuk Bu Mega pada Fatihah. Setelah mengatakan itu ia pergi begitu saja.