“Ning, aku ke Jakarta dulu.” Sambil membenahi barang yang mau dibawa ia berpamitan pada Asma.
“Ada urusan apa, Gus. Mendadak sekali nampaknya?” baru selesai acara ngunduh mantu Aiman sudah berpamitan hendak ke jakarta.
“Teman lamaku kecelakaan, kondisinya parah, Ning.” Tidak ada bahasa Aiman mengajak padahal ia sangat ingin ikut kemanapun suaminya pergi.
“Tidak baik, Gus, bagi pengantin baru berpergian jauh.” Asma masih menahan niat Aiman, tapi nampaknya Aiman tetap kekeh mau ke Jakarta.
“Ada masalah penting, Ning.” Mohonnya pada istri yang baru dinikahi bebrapa hari itu.
“Apa tidak bisa diwakilkan santri lain?” keberatan kepergian Aiman, apalagi dirinya baru saja berada dirumah orang tuanya yang masih asing.
“Dua hari lagi aku sudah kembali ke Solo.” Sudah siap dengan barang bawaannya, Aiman keluar dari kamarnya.
Hasnah yang ada di ruang tamu melihat langkah Aiman. “Mau kemana?” ia melihat tas yang disandang putranya.
“Ke Jakarta, Uma. Melihat Dwi.” Kata Aiman hendak bersalamanan dengan ibunya.
“Tunggu dulu, disana ada Fatihah. Kamu tidak usah kemana-mana masih pengantin baru.” Hasnah juga melarang Aiman, tidak enak juga pada Asma sudah langsung ditinggal.
“Aku pamit, Uma. Nanti sambil telpon Aba.” Aiman tetap saja menyalami tangan Hasna. Lalu beralih pada Asma pasrah dengan kehendak suaminya.
Melihat kepergian pria itu, hal penting apa sampai ia meninggalkan istrinya?
*
Pintu gerbang itu tertutup rapat. Aiman terus melihat ihat pada penjaga keamanan. “Assalamualaikum, Pak.”
Melihat seseorang mengucapkan salam petugas keamanan itu mendekati Aiman. “Waalaikumsalam. Apa perlu apa ya mas?” tanyanya.
“Saya mau bertemu pak Tyas, atau bu Mega,” ujar Aiman.
Sudah diinstruksikan untuk tidak menerima tamu manapun apalagi jika tidak membuat janji dulu. “Mas sudah buat janji? Bapak sama ibu sedang tidak ada di tempat.”
“Belum memang, nomor yang saya hubungi mati.” Aiman menghubungi kembali nomor Dwi tapi tidak tersambung.
“Maaf, mas, silahkan buat janji dulu.” Keamanan itu sudah mau pergi.
“Pak, tolonglah sampaikan dulu kedatang saya. Insya Allah beliau mau menerima kedatangan saya.” Aiman tidak mau meminta bantuan kyai Umar untuk menyampaikan datangnya, kepergiannya saja hari ini tanpa seijin beliau.
Keamanan itu tengah berpikir.
“Ini penting, pak, tentang Dwi putra bu Mega.” Sambung Aiman.
Setelah beberapa saat berpikir akhirnya orang itu bersedia membantu. “Ya sudah tunggu sebentar, tapi kalau bu Mega tidak mau menerima tamu, saya minta masnya silahkan pulang.”
Aiman mengangguk. “Iya.”
“Saya minta data diri mas dan keperluan apa kesini.” Pria itu memberikan secarik kertas untuk diisi Aiman.