Sudah dua bulan ia di rumah aktivitasnya kembali seperti dulu, menjadi penjaga fotocopy. Hanya, pakaiannya kini tertutup sempurna dengan niqab hitam. Ia lebih membatasi lagi berinteraksi dengan yang bukan muhrimnya. Tentu saja menjaga tidak ingin menjadi bahan gosip orang lain.
Utami baru saja datang setelah menyelesaikan masakannya di pesantren. “Ndok, sini dulu.” Ia langsung mengajak Fatihah duduk.
“Iya, bu. Kenapa, semangat sekali.” Fatihah ikut duduk di depannya.
“Itu loh, orang yang bantu ibu di dapur punya anak laki-laki, ditinggal istrinya meninggal. Dia mau ta'aruf denganmu?” Utami sangat semangat anaknya akan menerima pinangan itu. Bagaimanapun status sebagai janda sangat tidak baik sebagai ibu ia ingin Fatihah kembali memiliki suami dan hidup bahagia.
Fatihah langsung diam, ingatanya kembali pada perlakuan Dwi waktu itu membuat wajahnya seketika pucat sampai berkeringat dingin. Ia langsung berdiri. “Aku ga mau, Bu.” Katanya cepat nan tegas sampai membuat Utami tersentak atas penolakan kasar anaknya.
“Loh, kenapa?” Utami menggapai tangan putrinya bermaksud menenangkan sedangkan reaksi Fatihah langsung kaget melihat siapa yang menyentuh tangannya.
Utami kembali bertanya-tanya ada apa dengan anaknya. “Kenapa, Ndok? Ini ibu.” Terlihat jelas dari sorot mata anaknya jika dirinya ketakutan.
“Mm, ndak, Bu. Aku tidak ingin menikah lagi.” Katanya tegas.
“Iya tidak apa-apa, Ndok. Kalo kamu menolak, akan ibu sampaikan, kamunya belum siap, gitu.” Tapi bukan itu yang menjadi perhatian Utami, kegelisahan yang Fatihah tunjukan.
Utami semakin melihat anaknya dekat. “Kamu kenapa, Nur? Cerita sama, ibu?”
“Ga papa, Bu. Aku masuk dulu.” Ia segera bergegas masuk ke dalam kamarnya. Menangis tanpa suara, kenangan itu seketika hadir bagaimana pria brengsek itu memperlakukan dirinya.
*
Mobil Aiman melewati rumah Fatihah, ia sedikit melirik ke sana sedangkan di sampingnya Asma ada. Kini Fatihah jarang terlihat, perempuan ceria yang dulu kini menghilang.
“Nanti duluan saja tidak apa-apa, Gus.” Asma melihat Aiman. “Takutnya kajiannya lama.”
“Liat nanti, kalo bisa ditunggu aku tunggu. Aku juga masih ada kelas.” Katanya sesaat setelah melirik rumah Fatihah.
Meneruskan permintaan Kyai Umar ia menjadi salah satu guru di pesantren.
*