Di kediaman Ryan, ayah dan ibunya baru selesai beraktivitas. Ayahnya bekerja di kelurahan setempat sedangkan ibunya guru SD. Ryan duduk diantara keduanya saat beristirahat hendak menyampaikan niatnya melamar Fatihah.
“Bu, mau nanya.”
“Nanya apa.” Kacamata melorot membingkai mata, sang ibu sedang serius melihat ponselnya.
“Kalau aku melamar janda, bagaimana?”
Sang ibu langsung melihat Ryan tajam. “Ngomong apa kamu ini, seperti tidak laku. Sampai menikahi janda.”
“Bukan begitu, Bu. Ini beda.”
“Apa bedanya, janda ya tetap janda.” Perempuan itu sudah terlihat tidak setuju.
“Dia keluarga dekat Kyai Umar, Bu. Dicairkan juga alasannya jelas, ibu ga mau besanan sama beliau?”
Mendengar nama itu seketika ibu Ryan membenarkan kacamata langsung tertarik. “Keluarga yang mana, ko ga kedengeran gosipnya?”
“Mm.” Ryan mesem. “Jelas tidak terdengar, Bu. Namanya keluarga dekat siapa yang berani umbar.”
“Anaknya baik tidak, jangan-jangan alasannya berpisah karena perempuannya kurang pintar mengurus suami sama ngurus rumah. Ibu tidak mau dia cuma modal tampang, dia harus bisa mengurus ibu sama bapakmu, ngurus rumah, masak dan cucuku nanti.”
Baru berhenti bicara, ia kembali bicara pada Dwi. “Eh, dia punya anak tidak? Kalau punya, ibu menolak!” Ibu Dwi kembali melihat ponselnya.
“Tidak, Bu. Nikah juga baru berapa bulan, yang aku dengar suaminya kecelakaan.”
“Sudah lihat-lihat rumahnya, rapi tidak? Nanti kerjanya tidur dandan saja. Ibu saja sudah tua begini masih kerja di pemerintahan, dia kerja tidak?”
“Tidak, Bu.” Berat hati Ryan mengatakan.
“Tidak sebanding denganmu, berarti. Kamu disekolahkan tinggi, dia sekolahnya apa?” Tanya sang ibu lagi semakin nyinyir.
“Sepertinya pesantren saja, Bu.”
“Anaknya sekolah sampai ke Mesir sana, punya saudara dekat masa tidak disekolahkan yang tinggi.” Komentar sang ibu meremehkan Kyai Umar.
“Biarkan saja, Bu. Buat apa juga buat Perempuan sekolah tinggi?” Seketika suara itu langsung mendapat lirikan tajam sang ibu.
“Kamu tidak akan bisa jadi guru di sana kalau tidak sekolah tinggi, orang seperti Kyai itu mana mau menerima kamu.”
“Ibu, Bu. Maaf.” Salah bicara di depan ibunya, ia langsung meminta maaf.
“Kenalkan dulu sama ibu, biar bisa menilai bagaimana perempuan itu.”
“Iya, Bu. Bertai direstui?” Sudah terlihat sumringah tapi tidak lama ia kembali diam saat mendengar lanjutan bicara ibunya.
“Kalau dia tidak sopan dan tidak mau mengikuti arahan ibu, batalkan!”
Ryan mengangguk sesaat tapi yakin Fatihah perempuan penurut yang bisa diajari dan pasti mendengar apa kata ibunya.
*
Hari berikutnya Ryan sudah sangat percaya diri berkunjung ke rumah Fatihah untuk mengabarkan jika kedua orang tuanya menyetujui. “Assalamualaikum.” Salam ya saat melihat Fatihah sudah di depan toko.
“Waalaikumsalam.”