Belum lama buka sudah ada yang datang, seorang laki-laki. “Nur, saya mau fotokopi, lima lebar.”
“Iya, pak.” Fatihah menerima lembaran yang hendak diperbanyak itu. Selama Fatihah melakukan pekerjaannya orang itu terus saja melihat dengan pandangan melecehkan.
“Ngga panas pake baju begitu?” tanyanya yang sebenarnya enggan untuk Fatihah jawab.
“Tidak.” Sudah merasa diperlakukan tidak baik Fatihah langsung membuat jarak tidak suka diajak bicara.
Setelah selesai ia langsung membereskan lalu dimasukan dalam kantong. “2000,” katanya sambil menyerahkan.
Dari tatapan orang itu tetap memperlihatkan melecehkan, yang lebih parahnya saat Fatihah memberikan hasil fotokopi, tangannya disentuh dengan sengaja.
Ia langsung menepis tangan pria itu lalu mengambil uang yang diletakan di atas meja kaca. “Terima kasih.” Katanya dengan nada suara tidak suka. Ia bukan perempuan yang suka dilihat demikian oleh seorang pria.
“Kapan ada waktu, saya mau ketemuan?” Godanya lagi.
“Maaf, anda salah orang.” Fatihah langsung meninggalkan tokonya masuk ke dalam rumah, tidak lupa menguncinya. Menahan tangisan atas sikap melecehkan tadi. Sungguh harga dirinya tidak serendah itu.
“Salah orang bagaimana? Semua orang di kampung sudah tahu, Nur. Bagaimana kamu. Maunya sama yang kaya terus, wuuh …. “ Pria itu lalu pergi kecewa tidak dilayan seperti yang diceritakan Ryan.
‘Ya Allah, ada apa ini?’ tanya Fatihah sendiri dalam hati.
*
Esok harinya ditugaskan Utami untuk ke pasar ternyata bukan hanya para pemuda kampung yang menatapnya penuh hina seakan pendosa maksiat, para perempuan pun sama melihatnya penuh kebencian disertai sindiran yang masih terdengar jelas olehnya.
“Percima kerudung besar, kalau kelakuan murahan.” Kata-kata itu terdengar begitu jelas saat dirinya lewat tapi ia masih berpikiran baik jika itu bukan ditujukan untuk dirinya.
“Mari, bu.” Sapanya. Tidak ada yang menjawab malah terlihat begitu benci padanya. Ia tidak mau ambil pusing perkara orang yang tidak menyukainya, hanya. Kali ini rasanya berbeda.
Sampai di toko sudah ditunggu Utami. “Kenapa, Nur?” melihat Fatihah melamun Utami langsung bertanya.
“Nggak, Bu. Aku bantu bawa ke pesantren, Bu.”
“Nggak usah, ibu saja, kamu buka saja tokonya.”
“Berat, Bu.” Fatihah tidak memberikan belanjaan itu malah mulai berjalan menuju gerbang pesantren.
Sampai di dalam perlakuan sama pada dirinya seperti hari kemarin pada Utami, semuanya seakan menjauh lalu bisik-bisik entah apa sambil sesekali menilai pakaian Fatihah saat ini, padahal secara muslimah tidak ada yang salah mengenakan pakaian longgar juga niqab.
“Sudah, sampai sini saja. Sana jangan banyak mikir, tunggu di rumah.” Utami segera mengusir anaknya, bukan tidak mau Fatihah membantunya hanya tidak tahu apa yang salah?
Fatihah kembali ke toko, tanpa disangka Ryan sedang mengintip intip ke dalam rumahnya, sungguh perilaku tidak terpuji dari seorang guru pesantren yang dipanggil ustad oleh warga kampung.
Dari belakang Fatihah melihat, ada juga salah satu santri yang melihat kelakukan Ryan yang mengintip dari celah kaca bagaimana keadaan dalam rumah.
“Mm, cari apa ya, kak?” tanya Fatihah setelah berdehem.
“Eh, Nur. Kirain ada di dalam.” Ryan terlihat tidak enak kelihatan mengintip.
“Ada perlu apa, ya?” tanyanya tidak basa basi lagi, bahan Fatihah menunjukan ketidak sukaan atas Ryan.
“Ga ada, ya sudah saya pergi.” Ryan juga bisa melihat jika Fatihah tidak suka dengan keberadaannya. Sikap Fatihah itu semakin membuat Ryan mendendam padanya, daripada masuk kelas Ryan lebih memilih menyebarkan gosip lain yang lebih parah.