“Ustad Ryan, apa? Saya ga ada hubungan apa-apa sama dia.” Suaranya tegas membantah.
“Iya, ga ada hubungan apa-apa tapi pernah tidur sama dia, gara-gara kesepian. Dasar perempuan nakal, gaya sok alim ga mau gosip sama tetangga, taunya gemar zinah sama laki orang. Pantas kamu diceraikan juga, jangan-jangan suka main juga sama sopir suami kayamu itu!”
“Astagfirullah ini fitnah, Bu. Saya tidak terima. Mari Bu, kita selesaikan baik-baik. Kita ke pesantren, saya mua pembuktian atas kata-kata ibu barusan juga ustad Ryan.”
“Ayo, siapa takut. Ustad Ryan sendiri yang cerita pada bapak-bapak kalau kalian sudah pernah tidur bersama. Awalnya dia menolak tapi kamu terus meminta sambil merayunya. Tidak sangka saya sama kelakuan kamu.” Perempuan itu melihat Fatihah penuh dengan hinaan juga amarah.
Bagaimana bisa mereka menuduh hal sekeji itu? Ia merasa terhina, marah juga tak berdaya seakan semua yang dirinya jaga runtuh dalam sekejap mata karena fitnah yang tidak benar.
Dengan kecewa ia kembali bicara. “Jangan prasangka buruk kalian, menutupi nurani kalian. Tanyakan pada setiap pemuda desa ini, apa aku pernah bermain mata dengan salah satu dari mereka? Apa pernah aku bicara mendayu untuk menggoda mereka? Demi Allah, aku tidak pernah sekalipun memancing sebuah hubungan yang tidak baik dengan siapapun atau ustad Ryan.” Suaranya terasa sesak, fitnah itu terlalu kejam padanya yang baru saja hendak pemulihan sakit mentalnya.
“Buktikan di depan, Kyai.” Dengan kasar perempuan itu mendorong Fatihah untuk segera berjalan menuju gerbang pesantren, melewati rumahnya.
Gendis yang ada di luar langsung berteriak pada ibunya. “Ibu, Mbak Fatihah dibawa paksa warga, Bu.” Teriaknya panik, ia juga segera berlari mendekati Fatihah. “Kenapa, Mbak?” tanyanya panik sambil menangis melihat kakak tersayangnya diperlakukan demikian.
“Ada apa ini?” Begitu mendengar teriakan Gendis, Utami juga segera keluar lalu melihat Fatihah sudah di gelandang menuju pintu pesantren.
“Bu Utami jangan ikut campur dulu, ini dosa anakmu.” Teriak perempuan tadi yang memfitnah Fatihah.
“Mana bisa saya tidak ikut campur, Desi! Dia anak saya, mau apa kalian semua sama anak saya?” tidak kalah keras suara Utami sehingga menghentikan pergerakan mereka.
Dari dalam gerbang salah satu santri putri melihat keributan di depan gerbang, segera berlari hendak mengabarkan pada guru piket hari itu. Asma yang melihat salah satu santri berlari langsung bertanya.
“Ada apa, sampai lari begitu?” tanyanya.
“Itu, Ning. Di depan gerbang banyak warga yang sedang berkelahi.” Lapornya.
“Berkelahi? Ya, sudah kamu lapor ustad lain.” Perintah Asma. Begitu santri itu pergi ia segera menelpon Aiman.
Begitu sambungan telepon diangkat. “Gus, ini di depan gerbang banyak warga berkumpul.” Asma melihat sedikit dari celah gerbang, suara mereka yang sedang beradu argumen. “Sepertinya ada masalah besar yang harus diselesaikan, Gus.” Ia juga sempat cemas melihat beberapa warga bicara dengan landasan emosi.
“Iya, saya ke sana.” Aiman segera berdiri padahal dirinya sedang bincang santai bersama Hasana.