“Berapa kali kalian melakukan di kamar itu?” masih bertanya dengan ekspresi wajah yang sama, mebuat Ryan tegang, karena hanya Aiman yang terus tidak mempercayainya.
“Bagaimana saya ingat hubungan seperti itu dilakukan, pastinya berkali-kali.” Ryan akan selalu mengelak dari pertanyaan Aiman untuk melempar opini kebenaran sejauh jauhnya.
“Berarti kamu sering ke rumah Fatihah di malam hari?” tanya Aiman lagi.
“Iya.”
“Datang jam berapa lalu pulang jam berapa?” dari semua pertanyaan Aiman, semuanya masih terdengar mengambang entah apa yang akan dibuktikannya?
“Saya tidak ingat,” jawab Ryan.
Amarah Aiman nampaknya mulai terpancing mendengar jawaban Ryan yang terus berkelit, dengan suara keras nan tegas ia kembali bertanya. “Ini kesaksian, kalau kamu tidak bisa mengatakan dengan jelas. Saya akan memutuskan jika ini hanya fitnah. Satu lagi bukti yang harus nya ada, kalian berzina berarti memiliki perasaan cinta, bukan? Ada bukti kalian saling berbalas pesan?” pertanyaan ini sekaligus ancam bagi Ryan.
“Tidak bisa begitu, Gus. Namanya kami lakukan secara diam-diam takut orang lain melihat jadi tidak ada balas membalas pesan. Dan saya sudah mengakui itu dosa, kurang dimana lagi saya.” Ryan berlaga menjadi yang paling terzalimi.
Sudut bibir Aiman terangkat tipis. Manusia munafik akan selalu berlaga dirinya adalah korban padahal pelakunya.
Fatihah yang melihat sudah muak dengan cara Ryan mengatakan semua kebohongan. Ada manusia seperti dia, begitu ringan lidahnya berucap.
“Maka dari itu ingatlah dengan jelas. Dari sana kami bisa menyimpulkan benar tidaknya ucapanmu. Tidak masuk diakal jika hubungan kalian spesai tapi sama sekali tidak berbalas pesan.” Kata-kata itu seketika membangun kembali kepercayaan pada Fatihah.
“Mengapa harus lagi dipertanyakan, saya sudah katakan, berhubungan badan dengan dia.” Tunjuk Ryan pada Fatihah.
“Tidak bisa seperti itu, Ustad. Fatihah saja menyangkalnya! Jadi semua bukti yang kamu miliki harus ada jika benar adanya perbuatan malam-malam itu yang kamu katakan sering, atau hanya ada dalam anganmu yang ingin bersama Fatihah.”
Rayn membuang wajahnya tidak suka ucapan Aiman yang terus menyudutkannya.
“Saya ulangi lagi, jam berapa kau datang lalu pulang?” ulang Aiman. Jauh dalam hatinya bersyukur dari semua pertanyaan tidak ada satupun yang memberatkan Fatihah.
“Sekitar jam sebelas lalu pulang jam tiga apa jam dua, sekitaran itu.”
Kini Aiman berali pada para warga yang hadir. “Saya butuh kesaksian dari kalian atau jika mengetahui sesuatu, katakan! Ryan disini bersaksi jika sering ke rumah Fatihah pada jam sebelas dan pulang sekitar jam dua dan tiga. Di jam segitu saya yakin pasti ada dari antara kalian yang belum tidur, apakah kalian pernah melihat Ryan keluar dari rumah Fatihah?”
Para warga saling melihat. “Kamu bagaimana yang ronda keliling?” Dijawab dengan gelengan kepala. Satupun tidak pernah ada yang melihat Ryan keluar dari rumah Farihah atau berkeliaran malam-malam. Sedangkan Rumah itu tidak ada jalan keluar selain lewat depan.