Sore itu, gerimis mengguyur Jogja. Cukup deras untuk membuat basah siapa saja yang menerabasnya. Beberapa persimpangan lampu merah macet. Semua orang terburu-buru; para pekerja yang merindukan rumah, para mahasiswa yang kelaparan, hingga pedagang-pedagang yang meraup untung dari hujan. Segala hal berlomba-lomba untuk segera sampai tujuan. Jogja bukanlah Jogja seperti berpuluh tahun lalu. Semakin ke sini, kemacetan kian menjadi. Semakin banyak pendatang, perlahan keramahan Jogja seolah terkikis. Namun, kota satu ini tetap lihai meletakkan rindu pada sesiapa yang pernah mengunjunginya.
Alamanda baru saja tiba di rumah. Adry mengantarnya sore itu, dan sebagai balasan, gadis itu menawarkan segelas teh hangat dan semangkuk mi kuah. Makanan paling nikmat untuk anak kos ketika hujan turun. Pemuda itu mengangguk, sebagai penerimaan atas tawaran baik Alamanda.
“Duduk, Dry,” ucap Alamanda.
Yang dipersilakan langsung menuruti.
Bapak Alamanda segera keluar saat anak gadisnya mengucapkan salam dan segera menyadari bahwa Alamanda tidak pulang sendirian. “Eh, Adry. Piye kabare, Le?” ucap lelaki tua itu seraya mengembangkan senyum.
Adry segera bangkit dan menyalami lelaki tua yang memang sudah akrab dengannya itu. “Alhamdulillah, apik, Pak. Bapak piye?”
“Alhamdulillah, sehat selama ada kopi. Hahaha..”
Alamanda meninggalkan Adry dan bapaknya di ruang tamu, sementara ia menyiapkan mi rebus, kopi dan teh untuk mereka. Gadis itu tidak pernah ambil pusing tentang tamu-tamunya yang datang, sebab bapaknya pun tidak segan-segan untuk mengakrabkan diri dengan teman-temannya. Ia bahkan bisa saja tidur di kamarnya dan meninggalkan temannya hanya untuk mengobrol dengan bapaknya.
“Wingi kulo nyukani kado karo Manda, Pak,”[1] kata Adry memulai cerita.
Bapak gadis itu memasang wajah penasaran dan bisa menebak reaksi putri semata wayangnya itu. “Terus, dek’e ngomong opo?”[2]
“Aku berasa lagi ngerayain hari menjelang kematianku. Hahaha…” Adry terkekeh saat meniru cara bicara sarkas Alamanda.
“Nah kan! Hahaha..” Bapak Alamanda ikutan tertawa sebab tebakannya benar. Ia paham betul seperti apa sarkasnya Alamanda.
Kedua lelaki itu masih asik mengobrol saat Alamanda datang membawa tiga mangkuk mi rebus, segelas teh dan dua gelas kopi untuk mereka.
Aroma khas mi rebus menyeruak ke penjuru ruangan, lantas menyusupi penciuman mereka, mengundang lapar dan menggugah selera.
“Wah, ini nih. Mi rebus buatan anak gadis Bapak yang paling cantik,” ucap bapak Alamanda saat gadis itu meletakkan semangkuk mi di hadapannya.
Alamanda dengan cepat menyahut, “iyalah anak Bapak cuma satu.”
Adry dan bapak Alamanda segera terkekeh mendengar jawaban gadis itu.
“Sarkas seperti biasa,” kata Adry diikuti gelak tawanya.
Alamanda hanya mendengus kesal.
Adry, Alamanda dan bapaknya melewati sore dengan obrolan berbagai topik. Gerimis berhenti ketika maghrib. Usai shalat maghrib, pemuda itu pamit kepada bapak Alamanda, berpesan kepada lelaki tua itu untuk menjaga kesehatan, lalu memacu motornya menuju kos.