Bersebab sudah tiga pekan Lara tidak pernah bergabung lagi dengan Gilang dan dua temannya yang lain, jadilah sore itu, tepat pada pekan keempat di hari Sabtu, pintu kamar perempuan itu tiba-tiba saja digedor bertubi-tubi. Seolah orang-orang di luar pintu itu sudah tidak sabar untuk merangsek masuk.
Lara sendiri sedang malas-malasan di kamarnya. Ia pun bangkit sebab suara ketukan pintu itu benar-benar gaduh. Sebelum membuka pintu, ia merapikan rambutnya yang berantakan tak keruan.
“Ra…!! Ra….!! Ra buka!!” teriak suara-suara dari luar.
Perempuan itu membuka pintu dengan santai, siap-siap meninju wajah-wajah yang akan dilihatnya. Lara sudah mengepalkan tangan ke udara saat salah seorang dari ketiga tamu itu protes.
“Woi! Santailah, Ra. Serem amat,” ucap Gilang dengan tangan kirinya yang siap menangkis serangan dari Lara.
Lara mendengus kesal. “Ngapain, sih? Berisik banget. Kayak demo.”
Tegar terkekeh seraya berkata, “Ayok. Kita mau pergi.”
Alis Lara bertaut. “Ke mana?”
“Udah ayok ikut aja!” Gilang menimpali.
“Ke mana?!” Lara memaksa agar pertanyaannya dijawab.
Gilang tanpa tedeng aling-aling langsung menarik lengan baju perempuan itu. “Gar, dia nggak butuh ganti baju kayaknya. Bawa helmnya. Dendy kunci pintu kamar Kak Lara.” Ia memberi komando. Sedang Lara berasa seperti anak kucing yang diculik dari kandangnya.
“Woi! Nggak santai sih!”
“Lagian banyak nanya. Udah tiga minggu nggak pernah ikut main. Daripada tiba-tiba mati, mending kami seret keluar. Ya kan?” Gilang menaikkan alisnya, meminta persetujuan yang lain.
Dendy si bungsu mengangguk. Ia memang selalu menurut.
Tegar jadi kompor. “Iya, biar tetap waras. Nggak kayak bosmu yang sinting itu.”
Lara hampir tergelak demi mendengar kalimat Tegar dan Gilang. Namun ia memang harus membenarkan kalimat-kalimat itu. Ia memang butuh udara segar. Akhirnya iapun mengalah dan meminta waktu untuk mengganti baju.
Sore itu Lara sendiri tidak pernah tahu akan dibawa ke mana. Ia pasrah saja.
Sepanjang perjalanan, perempuan itu menikmati suasana. Ia memandang sekeliling yang memang belum pernah dilihatnya. Itu rute menuju Sei Garang. Di kiri-kanan dipenuhi pemandangan hutan dan tanah merah. Jalanan mulus tanpa hambatan, pun kendaraan yang lalu lalang tidak begitu banyak. Lalu lintas sepi khas Tanjungpinang yang memang tidak terlalu ramai. Beberapa kali jalanan menanjak dan menurun. Lara berteriak seraya mengangkat tangannya ke atas saat jalanan menurun tajam. Ia sedang berimajinasi naik roller coaster. Langsung saja Tegar yang melihat itu, menyamai laju motor Dendy yang membonceng perempuan itu dan langsung nyeletuk,
“Nampakkan yang butuh hiburan itu? Untung nggak mati di kosan,” kata Tegar sekenanya.
Lara meninju lengan Tegar, membuat motor mereka berdua hilang keseimbangan.
“Woi!” Gilang protes.
Perempuan itu hanya terkekeh, tidak peduli dengan protesan Gilang. Sedangkan Dendy santai saja dengan kericuhan kakak dan abang-abangnya itu.
Setelah mengambil jalur kiri di persimpangan, mereka berempat melewati jalan tanah. Setengahnya sudah diaspal, setengahnya lagi belum. Sepertinya masih pembangunan. Tak jauh dari situ, mereka melewati perkampungan warga saat menemukan jalanan aspal kembali. Lalu mengambil rute lurus dan hanya butuh beberapa menit untuk tiba di tujuan.
Lara memperhatikan sekitar. Ia mengedarkan pandangannya. “Vihara?” tanyanya saat turun dari motor.
Dendy mengangguk. “Iya, Kak. Ada sejarah Sun Go Kong loh di situ.”
Perempuan itu mengangguk saja. Namun telinganya dengan jelas mendengar debur ombak. Sepoi angin itupun ia kenali dengan baik, khas angin di tepi laut. Sudut bibirnya membentuk lengkungan. Lara tersenyum hanya untuk menyadari hal itu.
Mereka berempat duduk di kursi taman Vihara yang luas itu. Di sisi kiri gerbang Vihara, tepat di dekat laut, banyak orang berjualan. Mulai es kelapa, bakso aci, Takoyaki, hingga jagung bakar.
“Ra, ke belakang gih. Ada spot foto dan sejarah untuk dibaca,” kata Gilang seraya membuka minuman kaleng yang dibawanya tadi.
Lara menoleh ke arah yang dimaksud. “Nanti aku ilang gimana?”
Tegar melirik perempuan itu, siap melemparkan sendalnya. “Rugi juga yang nyulik. Sama Dendy tuh ke sana.”
Perempuan itu terkekeh sebelum akhirnya menatap Dendy. “Den…”
“Ayok…” kata Dendy cepat.
Lara dan Dendy ke pelataran dalam Vihara. Mereka membaca sejarah Sun Go Kong dan mengambil beberapa foto. Sebenarnya, perempuan itu lebih banyak mengambil foto Dendy daripada sebaliknya. Usai mengabadikan momen, mereka kembali ke kursi di mana Gilang dan Tegar berada.
“Udah? Ke sana skuy,” kata Tegar.
Tegar beranjak dari tempatnya, lalu berjalan menuju laut. Lara, Gilang dan Dendy mengikuti di belakang.
Jalan menuju laut ditutupi batako, sebab masih dalam wilayah Vihara. Di sana, di sisi sebelah kanan dipenuhi rerumputan dan pepohonan. Ada pula trestel[1] sepanjang 15 meter yang dipenuhi pengunjung untuk berfoto. Laut itu tidak memiliki pasir sebagai tepinya, melainkan tebing setinggi 3 meter yang di bawahnya langsung dijumpain bebatuan tepi laut. Keempat perantau itu duduk di tepinya. Yang satu sibuk berkirim pesan dengan kekasihnya, yang dua sibuk mengomentari lagu band indie senja-senja tai anjing[2], sedang satunya lagi, yang menjadi perempuan satu-satunya di antara mereka, sibuk menikmati sepoi angin yang menerpa wajahnya, menerbangkan anak rambutnya.
Hari itu menjelang sore, matahari masih panas-panasnya, namun cahayanya yang menimpa permukaan air menjadikan lautan itu tampak berkilau-kilau disiram semu keemasan.
“Den, itu pulau Penyengat ya?” tanya Lara seraya menunjuk sebuah pulau yang tampak begitu dekat dari tempat mereka duduk.
Dendy mengikuti arah yang ditunjuk perempuan itu. “Nggak tahu, Kak. Bang Gilang, itu pulau Penyengat?”
Gantian Gilang yang menatap pulau yang dimaksud. “Katanya gitu, Den. Lebih dekat dari sini pulau Penyengat.”
“Bisa berenang ke sana berarti?” lagi-lagi Lara asal ngejeplak.
Gilang memandangnya dengan tatapan sengit. “Ya nggak berenang jugalah, Ra. Dimakan hiu mau?”
“Udah lama nggak kena angin, Bang, makanya daritadi omongan si Lara ngelantur nggak jelas,” ucap Tegar yang memotong.
Lara mendengus kesal, sedang yang lain tertawa menyikapi ucapan Tegar.
“Bukan, Bang, kebanyakan jagain bosnya di lantai tiga,” tambah Dendy.
Tawa mereka kian menjadi. Lara melayangkan tinju ke mereka, hingga mereka mengaduh sakit.
“Udah, yok, minum es kelapa. Biar Lara waras,” kata Gilang seraya bangkit dan membersihkan celananya. Sebab mereka duduk di rerumputan tadi.
Perempuan itu menurut saja, tidak protes meski diejek kali ini.
Semuanya pun berjalan ke arah parkiran, di mana para penjual berkumpul di sana.
Ponsel Lara bergetar. Nama Christian muncul di layar ponselnya. Perempuan itu seketika kelabakan, bingung harus menjawab telepon itu atau tidak. Namun jarinya mendadak men-swipe tombol hijau di layar ponselnya.
“Di mana?” tanya suara lelaki di seberang. Pembukaan yang sangat khas dari seorang Christian.
Lara menggaruk kepalanya, memperlambat langkahnya. “Di…” ia bingung, harus jujur atau…? Tetapi ia sadar betul, tidak bisa membohongi Christian. “Di Sei Garang.”
“Di mana itu?”
Perempuan itu rasanya ingin segera menghilang dan kembali ke kamarnya. Christian bertanya dengan nada santai, tetapi pertanyaan ‘di mana’ dari Christian selalu berhasil membuatnya merasa tersudut. “Di dekat laut. Ndak tahu, sih, jelasinnya gimana. Tadi diajak sama anak-anak kos.”
“Lanjutlah…”
“Kenapa?”
“Ha, disuruh lanjut, ditanya kenapa. Nanti dibilang situ bisa jalan sama laki-laki, di sini pergi sama laki-laki ajapun diributin, salah juga.”
Senyap. Lara mengutuki dirinya berkali-kali.
“Mau berantam?” tanya Christian dari seberang, masih dengan nada yang tenang.
“Enggak.” Perempuan itu sudah terlanjur tidak enak hati. Masih memaki diri sendiri atas kebodohannya.