Jika Alamanda berkata demikian perihal masa lalu seseorang, maka memang begitulah adanya. Adry belum selesai dengan masa lalunya. Dan bagi gadis itu, Adry tidak akan pernah menyelesaikannya sampai kapanpun. Alamanda bukannya tidak tahu bahwa pemuda itu mencintainya. Tetapi sejak awal, bagi Alamanda, Adry hanya teman dekat. Tidak lebih.
Bukan karena pemuda itu tidak layak dicintai, tetapi Alamanda tidak mau berurusan dengan perempuan dari masa lalu Adry. Bagi gadis itu, berurusan dengan perempuan apalagi perihal hati, benar-benar menyita waktu. Apalagi Alamanda sangat paham tipikal mantan pemuda itu; gadis kekinian dengan drama tiada habis. Dan, Alamanda membenci drama.
Usai Adry mengantarnya pulang pekan lalu, mantan kekasih pemuda itu menghubungi Alamanda dan memohon pada gadis itu agar membujuk Adry untuk kembali padanya. Alamanda tidak menggubris, berakhir dengan mengusir Adry tiap kali pemuda itu ingin menemuinya. Pekan itu benar-benar melelahkan baginya. Sejak bapaknya berkata ingin bertemu dengan ibunya untuk terakhir kalinya, Alamanda tidak hanya sekali berpikiran untuk mencari perempuan yang telah melahirkannya itu. Sebab, sejak saat itu pula, setiap hal yang dilakukannya, selalu berakhir dengan kalimat ‘betapa miripnya kamu dengan ibumu’ khas bapaknya.
Kalau hanya menghadapi kesepian dan dukanya sendiri, Alamanda sudah terbiasa dan nyaris khatam. Tetapi untuk mengurai luka dan renjana rindu yang bersemayam di dada kiri bapaknya, gadis itu angkat tangan. Perasaan di dada bapaknya itu begitu kuat, ia sendiri tidak sanggup untuk menelaahnya jengkal demi jengkal, meredamnya hasta demi hasta. Maka jika pada pekan-pekan itu mantan kekasih Adry datang dengan segala dramanya, Alamanda lebih memilih untuk menjauh dari keduanya.
Pukul sepuluh dan cuaca sudah terik. Alamanda sedang menikmati es tehnya seraya mengerjakan tugas di Kafetaria Kopma. Ia harus menyelesaikan presentasinya yang tinggal sepuluh persen lagi itu. Di saat itulah, Adry tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Man! Susah banget sih dihubungi,” ucap Adry asal. Lalu ia menarik kursi dan duduk tanpa dipersilakan.
Alamanda menatap sumber suara itu beberapa jenak, lalu kembali menatap layar laptopnya. “Kok protes? Kayak pacar aja. Haha…”
Pemuda itu tersenyum kecut, lantas meminum es teh punya Alamanda tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Gadis itu tidak menggubris perbuatan Adry.
Dan benar saja kekhawatiran Alamanda. Belum lama Adry datang menghampirinya, tiba-tiba sebuah telepon masuk. Ia tidak menyimpan nomor itu, tetapi ia tahu dengan benar siapa yang menghubunginya; mantan Adry.
“Ya? Iya, Adry di sini sama aku. Oke.”
Bunyi ber-klik. Telepon ditutup.
Alis Adry mengkerut. “Siapa?”
“Perempuanmu lah. Siapa lagi.”
Adry belum sempat mengajukan protesnya saat sebuah suara yang familiar di telinganya meneriakkan namanya. Ia hanya meraupkan tangannya, merasa frustasi.
“Kamu ngapain ke sini?” tanya Adry ketika gadis yang menghampiri dirinya dan Alamanda langsung duduk di sebelahnya tanpa dipersilakan.
Gadis itu meletakkan tasnya di meja. “Kamu yang ke mana aja? Dijumpain susah. Aku mau kita kayak dulu lagi.”
Namanya Kira; mantan Adry yang sebenarnya sejak tiga tahun lalu sudah diputusin. Tetapi hingga hari ini, gadis itu masih terus mengejar Adry dan meminta pertanggungjawaban. Masalahnya sudah jelas, pemuda itu pernah tidur bersama Kira, dan gadis itu merasa Adry harus bertanggungjawab.
“Ra, kita udah bahas ini dari tiga tahun lalu dan kita setuju. Terus sekarang kenapa nuntut lagi, sih?” Adry makin putus asa menghadapi gadis di sebelahnya.
Kira menggeleng. “Nggak. Kamu udah tidurin aku, terus mau udahan gitu aja? Ya nggak bisalah.”
Adry meremas rambutnya. Ia menumpukan setengah bobot badan—dan bebannya yang satu ini—ke sikunya yang diletakkan di meja. “Kira, hari itu, yang ngajak aku minum-minum siapa? Yang ngegoda aku siapa? Kejadiannya kan nggak aku yang tiba-tiba perkosa kamu.”
“Tetap aja kamu mau tidur sama aku!”
Alamanda masih berkutik dengan laptopnya, berusaha tidak terganggu dengan pertengkaran dua orang di seberang mejanya.
“Man,” ucap Kira seraya menatap gadis di seberang mejanya yang sejak tadi tidak terganggu sedikitpun dengan pertengkaran mereka.
Alamanda menoleh ke sumber suara. Jemarinya masih menempel di keyboard laptopnya.
“Kalau kamu jadi aku, apa yang kamu lakukan?” Kira menyelesaikan kalimatnya.
Alamanda menghela napas mendengar pertanyaan Kira, sebab ia tahu jawabannya tidak akan diterima dengan mudah oleh gadis itu. “Move on, melanjutkan hidup.”
“Maksudnya?”
Alamanda tersenyum tipis. Reaksi Kira tepat seperti perkiraannya. “Ya ngelupain laki-laki yang nggak menginginkanku. Ngapain juga capek-capek buang waktu cuma untuk maksa seseorang mau nerima aku.”
“Tapikan posisinya dia udah tidurin kamu.”
“Pas lagi bercinta, emang aku nggak sadar apa yang aku lakuin? Aku sadar, berarti aku bertanggungjawab atas perbuatanku sendiri. Bukan orang lain, bukan laki-laki yang tidur sama aku yang harus bertanggungjawab.” Alamanda menutup laptopnya, lalu mengemasi barang-barangnya ke dalam tas.
Kira menganga. Ia hampir menepuk jidatnya sendiri mendengar jawaban Alamanda. Kini ia makin percaya dengan perkataan orang-orang seantero kampus yang mengenal gadis itu. “Tapikan… tapikan dia sudah merusakmu.”
Alamanda menyampirkan tasnya ke pundak, lalu tersenyum pada Kira. “Kira, logikanya dalam hukum sebab-akibat, sesuatu akan rusak kalau dua-duanya bersedia melakukan hal yang sama. Kamu manusia bernyawa, Adry juga. Kalian cuma bisa merusak yang lain, ketika salah satunya bersedia untuk dirusak. Beda cerita kalau kamu diperkora Adry. Jadi, karena kalian sama-sama waras dan sadar ketika hal itu terjadi, kurasa masing-masing dari kalian bertanggung jawab atas perbuatan itu sendiri. Paham kan?” Gadis itu beranjak dari tempat duduknya. Sebelum berlalu, ia kembali berkata, “Ra, laki-laki itu brengsek. Kalau udah tahu mereka begitu, maka kita sebagai perempuan harus cerdas dan tegas.”
Alamanda tersenyum lagi sebelum akhirnya berlalu dari dua orang yang sedang berseteru itu.
Adry menganga, sibuk berkutat dengan isi kepalanya. Tak habis-habis ia terheran dan merasa kagum di saat yang bersamaan terhadap reaksi Alamanda. Ia jelas tidak sedang merasa dibela oleh gadis itu, tetapi ia juga tahu, Alamanda tak lantas berada di pihak Kira.